Ephemeral 03

1 0 0
                                    

Lizzy tidak tahu harus berekspresi seperti apa dan bagaimana?

Orangtuanya selalu bertengkar dengan hal-hal yang menurutnya bisa dibicakan baik-baik. Apa semua orangtua di dunia ini juga selalu seperti orangtuanya. Bertengkar tidak tahu waktu dan tempat. Lupa akan kehadiran buah hati yang mereka bawa kedunia ini.

Gadis dengan netra segelap malam itu mengedip, masih menonton pertunjukan sehari-harinya di rumah.

"Adik diem aja di kamar dengerin musik ya?" Lizzy memberikan perintah pada adiknya yang berbeda usia dua tahun.

Rentang usia yang tidak banyak itu, tidak membuat Lizzy mengerti sang adik. Terlalu pendiam dan berbeda dengan dirinya.

Lizzy memerhatikan sang adik yang tidak mendengarkan musik, melainkan bermain game online di ponselnya. Kembali, Lizzy memperhatikan kedua orangtuanya. Ada banyak pertanyaan dibenaknya, namun itu harus ia kubur dalam-dalam.

"Mas, aku minta berhenti!" Ibunya berteriak. Dirinya masih bergeming.

Pecahan barang terdengar ditelinganya. Isakan makin terdengar sesegukan.

Lizzy menghela napas, memilih tidak tahu untuk kesekian kalinya. Masuk ke kamar dan mengurung diri. Gadis itu benar-benar kewalahan meski tidak melakukan apa-apa.

Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda. Farraz adalah laki-laki dengan bad attitude, terlebih dengan beberapa orang yang memang terlihat tidak bisa menerima dirinya.

"Bibi, aku pulang!"

Laki-laki itu berteriak kala dirinya telah memasuki rumah. Melepas sepasang sepatu yang dipakainya untuk diletakkan pada rak sepatu.

Jari-jemari itu meraba dinding sekitarnya, mencari tombol saklar.

Klik!

Ruangan yang tadi gelap gulita, kini telah diterangi lampu yang terpasang pada langit-langit.

Pukul sepuluh tepat, remaja itu kembali ke tempat yang seharusnya. Rumah, yang kerap menjadi tujuan peristirahatan dari hingar bingar dunia kejam, berbeda dengan yang dia alami.

Mendengus, Farraz tertawa dalam hati kala lagi-lagi menemukan sebuah sticky notes tertempel pada pintu kulkas.

Mendengus, Farraz tertawa dalam hati kala lagi-lagi menemukan sebuah sticky notes tertempel pada pintu kulkas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Farraz bahkan hampir lupa bahwa dirinya masih memiliki kedua orangtua. Tangannya meremas sticky notes tersebut, lantas melemparkannya ke dalam tempat sampah.

Tangannya kini tergerak membuka tudung saji. Kosong, bahkan seteguk air dalam gelas saja tidak ada.

Mungkin dia akan memesan makanan online kembali.

Mengedikkan bahu, dia melakukan sedikit peregangan. Lantas menuju kamarnya untuk membersihkan diri.

Beberapa menit membasuh diri dalam kamar mandi. Farraz keluar dengan handuk dipinggang. Sementara tetesan air dari rambutnya membasahi lantai.

T-shirt hitam polos dan celana pendek menjadi outfitnya malam ini.

Tubuh jangkung dengan tinggi 180 cm itu tengah berdiri di balkon kamar. Bibir berwarna merah muda itu tengah menyesap nikotin dalam batang rokok. Sedang tangannya menyangga pada pagar pembatas. Helalain rambut lebat Farraz tersapu angin malam.

Ting!

Merogoh saku, Farraz mengambil benda persegi panjang bernama ponsel. Melihat sebuah notifikasi dari m-bankingnya. Sebanyak dua juta rupiah telah dikirim pada rekeningnya.

Bergumam pelan, "Selain harta, bisakah mereka memberi kasih sayang?"

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang