Karma

311 38 4
                                    

Pagi itu, dengan wajah sendunya, Harda menatap awan yang ada di luar ruang kelasnya. Jika bukan karena pikirannya yang kosong, maka ia sedang memikirkan kapan dirinya akan mati. Sebelum kelas yang tadinya ricuh kini hening karena seorang guru masuk ke kelas mereka membawa seorang murid laki-laki yang belum pernah seisi kelas melihatnya.

“Ayo, perkenalkan diri dulu.” Ucap guru tersebut mempersilakan sang murid baru untuk memperkenalkan dirinya.

“Hai. Nama gue Reynard, pindahan dari SMAN Kota 2. Salam kenal semuanya.” Tidak ada yang berubah dari mimik wajahnya. Sejak masuk ke kelas itu dan kini ia memperkenalkan dirinya, ia terus memasang senyum manis namun terasa kosong. Harda yang duduk di belakang sana tidak tertarik dengan keberadaannya.

Sang guru pun kemudian menyuruh Reynard duduk pada kursi kosong di sebelah Harda yang masih sibuk memandang langit, sibuk dengan pemikirannya.

Reynard mengiyakan dan langsung melangkah menuju kursinya. Semua murid menatap dirinya, terutama para siswi yang mengagumi ketampanannya. Wajah Reynard atau singkatnya Rey memang mirip orang barat. Ia memiliki darah Jerman.

Laki-laki bermata hazel itu duduk di kursinya dan melirik Harda yang kini menjadi teman sebangkunya. Ia mengulurkan tangannya. 

“Salam kenal.” Tak ada respon. Rey mengulangnya. “Salam kenal, gue Reynard.”

Harda terkesiap dan sadar dari lamunannya, kemudian menoleh. “Ah, gue Harda.” Harda balas menjabat tangan Rey, dan ia mengernyit melihat senyuman laki-laki itu.

***

“Harda!” Rey memanggil Harda yang jalan mendahuluinya menuju kantin. Laki-laki berambut agak ikal itu menghentikan langkahnya dan menoleh. “Gue ikut.”

Harda menunduk. Ketika siswa-siswi lain memperhatikan mereka. Kagum sekaligus kasihan pada Rey selaku murid baru di sana. Kagum karena ketampanannya, dan kasihan harus berteman dengan Harda.

Ya, Harda tidak disukai oleh hampir semua murid di sekolah itu karena rumor yang beredar tentang dirinya. 

“Mending lu gak deket-deket sama gue.” Harda sesekali menatap Rey. “Kalau lu gak mau orang-orang jauhin lu.” Lanjutnya.

Senyuman itu masih nampak di bibir Rey. Ia menatap dalam Harda. “Memangnya ada apa?”

Harda mengelus tengkuknya, menunjukkan bahwa ia merasa tidak nyaman. “Ada orang yang sebar rumor tentang gue.” Kini ia menatap wajah Rey kembali, namun ia semakin tak nyaman dengan cara Rey menatap dirinya. Walaupun senyum itu masih ada.

“Gak masalah.” Rey menggidikkan bahunya tanda tak peduli. “Ayo sekarang ke kantin!”

***

Beberapa bulan sejak Rey menjadi murid baru di sekolah itu, ia selalu menunjukkan bahwa ia peduli pada Harda. Harda pun mulai dapat mempercayai Rey yang selalu berada di sisinya. Ia juga berani terbuka dan menceritakan beberapa hal pada laki-laki bermata hazel itu.

Kini mereka ada di atap sekolah, bersandar pada pagar pembatas di sana. Harda dengan tatapan kosongnya, dan Rey dengan senyuman kosongnya. Sama-sama kosong.

“Lu pasti udah denger rumor tentang gue.” Harda mengawali.

“Udah.” Rey hanya menyahut seadanya.

“Lu pasti kecewa.”

“…”

Harda tak mendengar ada respon yang dikeluarkan Rey. Ia merasa tak berarti. Ia takut Rey yang sudah ia percaya akan meninggalkannya. Harda pun memegang tangan kirinya, tempat biasa ia menyayat dirinya. Karena rasa bersalah.

“Gak apa-apa. Itu masa lalu.” Rey dan Harda saling menoleh dan menatap wajah masing-masing. Ingin rasanya Harda menangis. Di antara semua orang, Rey bias memaafkan dirinya.

Namun kita tidak tahu bagaimana isi hati seseorang bukan?

***

Harda mulai jatuh cinta pada Rey. Rey pun dapat menerima pengakuan cinta Harda. Dan kini mereka berpacaran. Semua murid tahu itu dan semakin menindas Harda, namun tidak kepada Rey. Tidak adil bukan?

Pernah ia dilabrak oleh beberapa siswi di belakang sekolah. Dijambak, dipukul, ditampar. Hingga banyak bekas membiru di wajah dan tubuhnya.

Namun Harda tidak melawan. Ia menganggap semua itu adalah karmanya dari masa lalu. Maka ia tidak boleh mengeluh. Ia yakin bisa melewati ini.

Ternyata tidak.

Ia Lelah. Ia semakin menyalahkan dirinya sendiri. Semakin banyak luka yang ia buat di tangan dan kakinya.

Kenapa ia bertingkah begitu di masa lalu?

Kenapa ia begitu jahat di masa lalu?

Dan menyebabkan salah satu teman sekelasnya sewaktu SD bunuh diri.

Itu memang salahnya. Namun ia begitu pun karena ia ingin diakui bahwa ia bisa kuat, ia tidak lemah. Maka ia menindas teman sekelasnya yang terlihat lebih lemah darinya untuk rasa pelampiasan dari orangtua dan saudaranya yang suka menindasnya di rumah.

Harusnya ia bisa lebih berpikir dewasa waktu itu.

Namun apa daya? Nasi sudah menjadi bubur. Kini ia menerima karmanya.

“Rey.” Panggil Harda di atap sore itu. “Gue capek.”

“…” Tak ada respon dari orang di sebelahnya.

“Gue selalu merasa bersalah. Dan sebagai pelampiasan, gue melukai diri gue sendiri.”

Tetap tidak ada respon.

“Rey.” Harda menoleh. Ia berharap Rey merasa iba padanya. Namun apa yang ia dapat? Ia justru malah melihat Rey sedang menutup mulutnya. Menahan tawa.

“Pfft… HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!” Dan tawanya lepas. Membuat Harda terkejut hingga membelalakkan matanya. Rey menoleh dan menatap mata Harda. “Lu pikir gue bakal kasihan sama lu? Hah? HAHAHAHA!”

“Rey?” Kemudan laki-laki bermata hazel itu mencengkram bahu Harda, membuatnya kesakitan. “Aw, Rey. Sakit.”

“Apa? Sakit? Lu pikir seberapa sakit yang dia rasain? LU PIKIR LU LEBIH SAKIT DARI DIA, HAH?!” Bentaknya. Kini Harda mulai meneteskan air matanya. Ia takut.

Tangan Rey beralih mencekik leher Harda. Tidak keras, namun cukup membuat Harda sesak nafas. “Coba pikirin seberapa sakitnya dia dan orang-orang yang kehilangannya. PIKIRIN! Seenaknya lu bully dia sampe bikin dia bunuh diri. Lu gak mikirin gimana perasaan orangtua dan orang-orang yang sayang sama dia?”

“Hiks. Rey…”

“Rey, Rey, Rey, Rey. BERHENTI PANGGIL GUE! Enak gak di-bully? Gara-gara lu sepupu gue di-bully. Gara-gara lu sepupu yang gue sayang depresi. GARA-GARA LU SEPUPU GUE MATI!”

Harda menutup matanya. Ia tidak berani menatap mata Rey. Sebelumnya Rey dapat menatapnya lembut meski masih ada kekosongan di sana, namun kini tatapan itu dipenuhi amarah.

“Dan lu bilang capek? Capek? Haha. Capek ya?” Rey melepaskan tangannya dari leher Harda. “Kalau begitu mati saja sana.” Harda mulai menangis tanpa suara. Ia menatap Rey yang juga menangis dengan mata penuh amarah dan dendam. “Toh, gue gak pernah serius nerima lu. Gak. Bahkan gue sama sekali gak mau nerima lu. Gue tunggu kabar dukanya.” Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Harda dengan air matanya.

Sebelum Rey sampai ke pintu masuk atap sekolah, Harda pun berbalik dan mulai melangkah menuju pagar pembatas. Ia lewati pagar itu, dan tanpa pikir Panjang ia pun menjatuhkan diri dari sana. Menyebabkan suara dentuman keras di bawah sana, dan disusul beberapa jeritan.

Ia bunuh diri.

Rey pikir ia akan merasa puas, namun nyatanya tidak. Dadanya terasa sangat sakit. Tanpa ia sadari, hatinya sudah terisi oleh nama Harda. Namun tetap saja, sudah telat.

End

*Sorry for any typos

Tamashi no Yami Monogatari (Kisah Kegelapan Jiwa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang