What'll You Do?

25 1 0
                                    

Malam itu, aku baru saja selesai melakukan perkumpulan suatu komunitas yang aku jalani. Acaranya selesai pada pukul 11 malam, hampir menuju 12 malam. Aku lelah dan ingin cepat pulang. Tapi temanku tiba-tiba menghubungiku dan memintaku untuk segera ke rumahnya karena membutuhkan bantuanku untuk pekerjaannya.

Aku ingin menolak tapi dia sahabatku satu-satunya dan juga sering menolongku. Jadi aku mengiyakan. Dia juga menawariku untuk menerima bayaran darinya. Tidak masalah bagiku, toh aku juga sedang membutuhkan uang untuk saat ini karena aku sudah tidak bekerja.

Aku sampai di gang yang menuju rumahnya, lalu aku harus melewati gang sempit dan gelap itu terlebih dahulu. Setelah sekitar 15 menit berlalu akhirnya aku bisa keluar dari gang itu. Iya, gang itu cukup panjang karena berada di antara bangunan pabrik yang luas.

Begitu keluar dari gang itu, aku harus melewati sebuah kebun dengan banyak pepohonan di sebelah kiri dan juga makam di sebelah kanan jalan. Biasanya orang lain akan takut melewati jalan ini, tapi aku tidak. Entahlah. Aku percaya tidak percaya dengan hantu atau semacamnya, selama mereka tidak menyakitiku. Karena kau tahu? Manusia lebih menyeramkan dibandingkan mereka.

Ponselku berbunyi, sahabatku menelepon. "Halo, San? Gue udah di gang rumah lu. Bentar lagi sampe."

"Oke deh. Lu mau makan apa ntar? Biar gue masakin."

Lalu, di bawah lampu jalan yang remang-remang di sana, aku mendengar ada suara rintihan dari sebelah kiriku yang berarti asalnya dari kebun yang sangat gelap itu.

"Tunggu sebentar."

Aku berhenti melangkah, menjauhkan ponselku dari telingaku, dan menajamkan pendengaranku.

"Tolong..." Suara rintihan itu. Entah itu manusia atau sesuatu yang lain jika kalian tahu apa maksudku.

Aku penasaran. Jadi aku memutuskan panggilanku dengan sahabatku dan melangkah memasuki kebun itu. Memang rasa penasaran lebih sering menguasai dibanding rasa takut. Ah, bukan berarti aku takut.

Langkah demi langkah kakiku membawaku memasuki kebun lebih dalam lagi dengan menggunakan flashlight sebagai peneranganku. Dan suara rintihan itu semakin jelas di pendengaranku.

"Tolong... Jangan bunuh saya." Sangat rintih dan lemah. Ah, rasanya aku tahu apa yang terjadi.

Aku mematikan flashlight ponselku dan mendekati suara tersebut perlahan.

Mataku cukup tajam sehingga cukup bisa melihat apa yang sedang terjadi di hadapanku saat ini.

Kakiku membeku dan aku terdiam. Suara rintihan itu berasal dari seorang pria tua yang sedang merangkak tidak jauh di bawah kakiku.

Kini aku sedang menyaksikan adegan percobaan pembunuhan.

Apa yang akan kalian lakukan jika ada di posisiku?

"Ada saksi mata rupanya." Ucap salah seorang pria lainnya yang lebih muda. Aku bisa lihat ada noda darah di tangan dan pakaiannya.

Lalu mataku tertuju pada pria tua yang masih merangkak mencoba meraihku sambil meminta tolong dengan lirih.

Aku mengenalnya. Dan juga sepertinya ia langsung mengenali wajahku.

"Ha- hah... Kamu- kamu Ravin, kan? Tolong... saya... Dia mau bunuh saya!" Pintanya dengan matanya yang berkaca-kaca itu.

Aku diam sesaat tanpa sepatah katapun. Lalu aku membuka mulutku.

"Aku tolong." Dan aku bisa melihat senyuman sedikit merekah dari bibirnya dna sebuah harapan di matanya.

Aku melirik pria lainnya dengan sebilah pisau di tangannya yang sedang berjalan mendekat.

Aku menengadahkan tanganku pada pria muda yang sepertinya seumuran denganku itu. "Aku tolong kamu, jadi kasih aku pisau itu. Aku yang bakal bunuh dia."

Pria muda itu tersenyum lebar dan tertawa. "Memangnya gue bisa percaya sama lu? Gimana kalau lu ternyata malah nyerang gue?"

Aku menatapnya dingin dalam diam masih dengan posisi tangan yang sama. Dia balas menatapku, kemudian tawanya berhenti namun masih dengan seringaiannya.

"Oke. Kayaknya lu ada dendam sama orang ini. Gue bisa liat dari tatapan lu." Dan akhirnya dia memberikan pisau itu padaku.

Pria tua di bawah kakiku ini membeku menatapku tidak percaya. "Tolong! Tolong...!"

Aku berjongkok agar aku bisa sejajar dengannya dan menatapnya dingin. Sebenarnya aku sudah muak melihat wajahnya itu. Dia yang sudah membuatku dipecat dari pekerjaanku padahal aku tidak melakukan kesalahan apapun. Karena dialah yang salah, dia melecehkanku.

"Saya salah. Tolong... kamu selamatin saya, nanti saya bantu kamu... masuk kerja lagi." Ucapnya panik. Lihat wajahnya yang penuh rasa takut itu, ingin sekali aku tertawa di depan wajahnya.

"Gimana?" Tanya pria satunya. Aku tidak menggubrisnya dan tetap memperhatikan ekspresi panik yang dikeluarkan pria tua ini.

Si pria tua tiba-tiba meraih bajuku dan menariknya sambil tetap memohon-mohon padaku.

Aku ingin melihatnya lebih lama tersiksa.

Aku mengarahkan ujung pisau ke telinganya dan menusuknya membuatnya menjerit kencang. Dengan segera pria satunya membekap mulutnya sehingga tidak lagi terdengar suara yang memekakkan telinga itu.

Sekali lagi aku mengarahkan pisau ke wajahnya dan menusuk matanya secara perlahan dan membuatnya kembali menjerit di dalam bekapan sambil menyakar-nyakar tangan yang membekapnya.

Aku mulai tertawa perlahan, menikmati setiap ekspresi yang dia buat. Tapi aku tidak mau berlama-lama, sahabatku sedang menunggu di rumahnya. Jadi aku langsung menenusuk matanya yang satunya berkali-kali hingga darahnya keluar mengenai wajah, tangan, dan bajuku. Aku terus melakukan itu hingga pria tua ini tidak mengeluarkan suara lagi.

Setelah aku dan pria satunya memastikan lagi bahwa pria tua ini sudah tidak bernyawa, kami beranjak berdiri.

"Lihat, wajah lu dipenuhi darah. Kalau lu gak bersihin darah itu, lu bakal ketahuan." Ucapnya sambil menangkup pipiku dengan sebelah tangannya. "Dan lepas jaket lu juga."

Aku menyerahkan pisau di tanganku saat dia memintanya dan melepaskan jaketku hingga tersisa kaos hitam saja untuk atasanku. Oh, dia mengambil jaketku.

Aku menatapnya dalam diam. Tangannya menangkup pipiku lagi. Sesekali ia elus dengan ibu jarinya.

"Kita bakal ketemu lagi, jadi pastiin sampai saat itu lu gak ditangkap." Kemudian ia mengecup bibirku singkat. "Sampai jumpa, lu harus cepat bersihin diri lu dan pergi dari sini. Mayatnya bakal gue yang urus."

Aku mengangguk pelan dan berbalik melangkah keluar dari kebun itu. Segera setelah aku membersihkan wajah dan tanganku dari darah di salah satu toilet di dekat pemakaman, aku kembali menuju rumah sahabatku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tamashi no Yami Monogatari (Kisah Kegelapan Jiwa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang