Di Persimpangan

116 8 0
                                    

[Genre : Comedy — Angst]

***

"Aku pikir setiap kali kita menemui persimpangan seperti ini, aku akan selalu berada satu jalan denganmu. Tapi barangkali jalan kita hanya berpotongan saja, ditakdirkan untuk bertemu, tapi bukan bersama."

—Singto Prachaya Ruangroj

"Aku tak pernah menyangka bahwa kita harus menemui persimpangan lagi. Kini bahkan aku tak tahu harus berkelok ke mana."

—Krist Perawat Sangpotirat

***

Sederhana adalah kata yang tepat untuk menyimpulkan awal pertemuan dua insan yang saat ini tengah saling berhadapan. Barangkali pula, sedang saling merindu.

Tetapi benar-benar sesederhana itu.

Sesederhana bertukar pandang di sudut persimpangan jalan yang berlawanan. Sesederhana menunggu lampu hijau menyala untuk berpapasan di titik tengah, sekadar bersinggung pundak, dan kata maaf akan ketidaksengajaan itu. Dan sesederhana——


"Eh, anak muda!! Bayar dulu baru pergi! Kebiasaan deh!"


——Iya. Sesederhana lupa membayar batagor hingga pemuda itu harus kembali secara terburu-buru, mengeluarkan beberapa lembar uang dari kantong kemejanya, dan mengaduh karena lampu lalu lintas sudah terlanjur berubah menjadi merah.

"Bang, batagornya satu porsi—"

"Ah, si Abang sih! Saya jadi harus nunggu lampu merah lagi nih!" Pemuda itu menggerutu, memotong ucapan tanpa memperhatikan si empunya suara. Ia baru tersadar dengan sosok yang bersanding di sisinya ketika ia melahap kudapan goreng dengan bumbu kacang di tangannya. "Eh, maaf, Kak. Mau pesen ya? Tuh Bang, ada yang mau pesen."

"Ya, elu sih, pakai kabur."

"Ye nggak sengaja, Bang. Maaf. Udah nih urusin Kakak ini dulu. Saya mau minta kecap sedikit habis itu," sahut sang pemuda sembari sedikit menyingkir untuk mempersilakan lelaki yang tampak berusia lebih tua darinya.

"Satu porsi ya, Bang. Nggak pakai bumbu kacang," tutur si pembeli.

"Batagor nggak pakai bumbu kacang gimana ceritanya?" celetuk yang lebih muda dengan mulut yang masih penuh.

Seketika itu pula tatapan tajam menyorot padanya. Siapa lagi kalau bukan pemuda dengan kemeja putih yang baru saja selesai mengucap pesanannya kepada penjual batagor. 

Lelaki yang lebih muda meringis, "Maaf, Kak. Saya nggak maksud nge-judge. Tapi jarang yang beli batagor nggak pake bumbu. Nggak lengkap gitu rasanya."

"Dek Keris, mending cabut. Ini mah pelanggan saya pada kabur semua kalau dikatain begitu," ujar si penjual dengan tangan yang sibuk memotong batagor dan memasukkannya ke dalam plastik.

"Krist, Bang. Krist. Kalau keris jadi senjata dong saya," si pemuda menekankan nama  yang tampaknya telah berulang kali salah disebut si penjual kemudian menyodorkan plastik berisi batagor dari tangannya. "Iya, saya mau cabut tapi ini kecap saya aja belum." 

Sang penjual hanya geleng-geleng kepala sembari menghentikan aktivitasnya untuk menuangkan kecap di dalam plastik milik si pemuda.

Non-Sense [Oneshot Compilations] || Singto x KristTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang