╭─────────╮
𝘚𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘋𝘦𝘴𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨, 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘮𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘰𝘴𝘰𝘬 𝘪𝘵𝘶. 𝘚𝘦𝘮𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘵𝘦𝘯𝘨𝘨𝘦𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯. 𝘚𝘪 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘤𝘪𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘪 𝘢𝘳𝘢𝘩.
╰─────────╯Bicara mengenai sosok kecil yang merupakan dirinya di masa lalu, mungkin semua orang akan terkejut bahwasannya Jeongin pernah berwujud se-cerah itu. Aura terang miliknya terpancar cukup lama sampai guntur dan hujan mengambil alih seluruh sisa-sisa cahaya yang ia miliki. Jeongin tak lagi peduli mengenai realita bahwa semua orang semestinya berjalan dengan dagu terangkat dan senyum merekah. Melangkah dengan mata kuyu dan kaki gontai, sambil sesekali tersandung pijakan—juga merupakan kehidupan.
Sekotak susu dan beberapa bungkus roti bertengger di daun pintu rumahnya. Jeongin langsung tau bahwa kakak perempuannyalah yang meletakkan makanan tersebut sembari menuju ke tempat kerjanya yang tak begitu jauh dari sini. Setidaknya masih ada rasa simpatik kepada sang adik yang tidak berguna dan hanya tau tidur seharian. Jeongin tidak tau pasti rasa kasihan tersebut harus diapakan karena dia pu kerap juga merasa iba dengan diri sendiri.
Jeongin lebih dari tau bahwa semua orang—termasuk orangtuanya—memandang pribadi Jeongin sebelah mata sejak ia gagal masuk universitas beberapa tahun lalu. Jeongin pernah jadi orang normal yang tidur dan bangun tepat waktu. Ia pernah jadi Jeongin yang menatap kedepan kala berjalan—dibanding menatap ujung sepatu.
Tapi, Jeongin yang seperti itu sudah mati. Atau paling tidak enggan muncul kembali berapa kali pun Jeongin mencoba. Barangkali, jati diri sebenarnya adalah dirinya saat ini. Dirinya yang tak mencoba setitik pun untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Tapi tidak—tetap ada yang salah dengan dirinya. Daripada tidak ingin berusaha, mungkin lebih tepatnya saat ini Jeongin tak melihat adanya harapan.
Beberapa waktu lalu, Jeongin merasa hampa seperti biasanya. Jenis kekosongan yang ia alami hampir mendekati stadium lanjut karena ia bahkan tak bisa menikmati hiburan macam apapun. Baik itu musik, film ataupun gambar. Semuanya terasa hambar. Sampai sebuah alunan musik pada sebuah café yang biasa ia datangi memasuki rungunya.
Hanya ada alasan-alasan klasik kenapa café itu menjadi favorit Jeongin. Yang pertama, tempatnya sangat dekat. Yang kedua, café tersebut nyaris buka setiap waktu. Jeongin kadang bertanya-tanya apakah si pemuda penyeduh minuman di depan sana tak pernah tidur. Kini, lagu dengan lirik menyedihkan tersebut menjadi alasan ketiga.
Lonceng café berdering kala Jeongin memasuki café tersebut. Balutan coat musim dingin menutupi sweater abu yang ia kenakan sejak hari kemarin.
Pemuda bernama Kim Seungmin itu terlihat bercekak pinggang di balik meja bar. Tapi Jeongin tak ambil pusing sedikit pun.
"Selamat pagi," sapa Jeongin sambil menguap.
"Pagi pantatmu!" Seungmin menaikkan nada suaranya. Dia tak takut bersikap seperti itu karena Jeongin di sini bukan sebagai pelanggannya. Agipula mereka sudah agak dekat sejak malam kemarin. "Kemarin kau janji bertemu jam tujuh. Sekarang hampir jam dua belas siang."
"Kau pikir saja sendiri mana bisa bangun sepagi itu setelah kemarin kita bicara sampai larut," tutur Jeongin. Dia mendudukkan diri sejanak pada kursi yang dia tarik. "Bagaimana caramu bangun pagi?"
Seungmin tak tau harus menjawab apa. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini. "Siapa yang bilang aku sudah tidur?"
Seketika Jeongin melotot. "Apa? Kau baik-baik saja? Perjalanan kita akan melelahkan hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
december melancholy ✓
Fanfictionbulan desember, pukul 23.59, semenit sebelum hari berikutnya, sedetik sebelum pergantian, satu sekon sebelum kepastian. kim seungmin tetap tidak terlelap. dan yang jeongin tetap tidak bangun.