[Malam tak berarti]
.
╭─────────╮
Ketika aku dewasa,
jiwaku terbang menuju ke masa lalu.
Kutemukan diriku yang masih belia—mirip dengan burung kecil yang masi belajar terbang. Sebelum mengetahui, sekuat apa angin di angkasa.
╰─────────╯
.Bait pertama pada lagu yang diberikan si musisi amatir mengintrupsi seisi cafe. Sampai saat ini, pemuda itu belum pernah datang lagi setelah menyerahkan flashdisk yang hanya berisikan satu buah file. Permintaannya yang terlalu rancu membuat otak Seungmin berpikir agak lumayan keras.
"Buat aku hidup untuk selamanya."
Tak bisa dijelaskan secara logika bagaimana Seungmin akhirnya paham maksud kalimat itu. Meskipun tak ada satupun cara untuk hidup abadi, tapi ada beberapa syarat-syarat tertentu agar seseorang masih bisa dikatakan 'hidup'. Salah satunya adalah meninggalkan jejak. Mirip dengan kupu-kupu yang meninggalkan sari pada putik bunga, kemudian terbang dan tak kembali lagi. Manusia juga bisa menggunakan cara itu untuk hidup selamanya. Dalam kasus ini, si musisi meninggalkan lagunya.
Kini, Seungmin bertanya-tanya terus menerus—apakah orang itu masih ada di bumi? Orang yang suara nyanyiannya sedang di dengar oleh seluruh pengunjung cafe ini.
Meski tempat ini hanya berisikan beberapa orang yang tak asing, setidaknya Seungmin jadi punya sesuatu yang bisa diamati. Ada dua orang yang duduk di tengah-tengah dengan wajah gusar antara satu sama lain. Seorang ibu dan anak laki-lakinya yang terlihat sedang saling memaafkan satu sama lain di hadapan kopi susu yang sudah dingin. Ada pula sosok yang sering datang ke cafe dan tertidur pulas di hadapan laptopnya sendiri.
Dia pemuda berwajah kantuk yang Seungmin temui tempo hari.
Tak lama waktu berselang, seorang pemuda tampan di kursi tengah keluar dengan wajah murung meninggalkan sang wanita paruh baya beserta minumannya yang masih separuh. Padahal di luar sedang hujan. Dan akan begitu dingin jika berjalan dengan tubuh basah jika itu hujan di musim dingin. Air bercampur salju—bayangkan saja sejuknya seperti apa.
Seungmin yang merasa khawatir namun tak bisa meninggalkan cafe akhirnya mendapat sebuah ide kala melihat si pemuda pengantuk ingin membayar. Pria Kim itu mengambil dua buah payung dari bawah kasir dan memberikan padanya. Tentu saja ia tampak bingung.
"Bisa kau berikan pada pemuda yang baru saja keluar? Yang satu ini untukmu," ujar Seungmin.
Pemuda itu mendorong salah satu payung dan hanya mengambil satu. Ia berderap pergi ke luar setelah itu. Seungmin menatap terheran-heran.
───※ ·❆· ※───
"Bagaimana? Sudah ada kemajuan?" Pria tua berpostur bungkuk itu menatap Seungmin sembari memperbaiki letak kacamatanya.
Seungmin menghela napas. Di lihatnya jam berbingkai putih yang tergantung satu meter di atas kepala pria tua itu. Seungmin menatap kaca kecil di luar ruangan, mendapati ibunya yang sibuk memainkan ponsel.
"Ya. Lumayan."
Jawaban itu bukan merupakan sesuatu yang jujur. Tak ada kemajuan apapun pada dirinya. Tapi karena Seungmin sudah kepalang muak, dia ingin segera menyudahi sesi sebulan sekalinya bersama pria tua ini.
Wajah tua itu terlihat mengetahui kebohongannya. Tampak sekali dari senyum tipis yang Seungmin benci. Memang dirinya sendiri yang terlalu konyol karena sudah berbohong kepada seorang psikiater. Orang di hadapannya ini tentu sudah mempelajari ilmu membaca pikiran dari gestur dan raut wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
december melancholy ✓
Fanfictionbulan desember, pukul 23.59, semenit sebelum hari berikutnya, sedetik sebelum pergantian, satu sekon sebelum kepastian. kim seungmin tetap tidak terlelap. dan yang jeongin tetap tidak bangun.