selamat membaca~
--
Tujuh tahun kemudianSebuah keluarga sedang asik menikmati makan malam dengan tenang. Keluarga tersebut terdiri dari sang kepala keluarga beserta istrinya dan anak mereka yang berjumlah sembilan orang.
Anak paling tua bernama Xavier, umurnya dua puluh empat tahun saat ini. Lelaki dengan kulit putih, rambut hitam legam, dan obsidian segelap langit malam.
Lalu ada Laskar yang lebih mudah tiga tahun duduk tepat di samping Xavier. Memiliki rahang tegas, hidung mancung, serta tatapan tajam yang mengintimidasi. Kulitnya eksotis, dengan rambut hitam.
Adam, lelaki berumur sembilan belas tahun. Ia memiliki wajah yang terkesan ramah. Ketika ia tersenyum, matanya pun seakan ikut tersenyum juga, atau orang-orang biasa menyebutnya dengan istilah 'eyes smile'. Dibandingkan dengan yang lainnya, Adam adalah satu-satunya yang terlihat sangat kalem dan santai.
Kemudian ada Amaris dan Eri. Mereka berada di usia yang sama, yaitu tujuh belas tahun. Amaris memiliki kulit sawo matang, sedangkan Eri memiliki kulit kuning langsat. Keduanya terlihat manis dengan rambut hitam legam dan iris berwarna cokelat muda.
Laras, umurnya empat belas tahun. Ia adalah gadis yang cantik. Kulitnya putih bak porselen. Ia adalah anak kesayangan Lilian. Apa yang Laras inginkan, selalu dituruti olehnya. Saat ini ia sedang menyantap makanannya dengan tenang, sesekali tersenyum lembut saat tatapan matanya tak sengaja bertemu dengan mata milik Lilian.
Angkasa, saat ini usianya telah menginjak dua belas tahun. Ia adalah anak paling pendiam. Ia jarang berbicara. Dari awal kedatangannya, ia memang tidak banyak bicara. Bahkan tersenyum pun ia jarang. Sikapnya benar-benar dingin.
Yang terakhir ada Laji dan Zerin. Mereka hanya terpaut satu tahun. Laji adalah anak laki-laki yang penurut. Ia jarang membantah ucapan kedua orang tuanya dan para kakaknya. Lalu Zerin, ia adalah gadis kecil yang imut dan lugu. Tingkahnya sangat menggemaskan. Laji berumur sembilan tahun, sedangkan Zerin berumur delapan tahun.
"Eri."
"Iya ma?"
"Bagaimana sekolah?"
"Biasa saja, tidak ada yang menarik. Dan sedikit membosankan sejujurnya."
Lilian mengangguk, kemudian berdiri dan menghampiri Eri. Ia memegang kedua bahu Eri.
"Di sana tidak menyenangkan ya?" Lilian bertanya sambil menunjukkan senyuman.
Suasana seketika menjadi tegang. Semuanya menunggu jawaban apa yang akan dikeluarkan Eri.
"Tidak. Hanya di sinilah tempat yang paling menyenangkan." Ucap Eri lalu menolehkan kepalanya ke arah Lilian. Ia tersenyum lebar hingga menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi.
"Tentu saja." Lilian memeluk Eri dan tersenyum bahagia.
Untuk sesaat Eri merasa lega.
Tak hanya Eri saja, para saudaranya pun ikutan lega dengan jawaban yang diberikan Eri.
Mereka akhirnya selesai dengan makan malam mereka. Lalu menuju ke kamar masing-masing.
"Eri, aku benar-benar takut tadi." Ucap Amaris sedikit berbisik saat mereka sedang berjalan menuju kamar.
"Kau pikir aku tidak? Sial itu tadi benar-benar menegangkan kau tahu."
"Untung saja aku tadi tidak ditanyai macam-macam."
"Semoga nanti mama tiba-tiba datang ke kamarmu dan berkata 'Amaris anakku, ayo bermain ular tangga'." Ucap Eri menakut-nakuti Amaris.
"Tidak-tidak itu benar-benar mimpi buruk. Aku akan celaka jika hal itu terjadi." Amaris bergidik ngeri setelah mendengar ucapan Eri.
"Hahaha. Kau tahu, dia tidak mungkin melakukan permainan itu. Ia hanya suka bermain petak umpet. Kalau boleh jujur aku sedikit bosan hahaha." Canda Eri.
"Anak mama bosan bermain dengan mama?"
Suara seorang wanita mengejutkan Amaris dan Eri, hingga menghentikan langkah kaki mereka.
Amaris dan Eri menelan ludah dengan kasar.
Dari suaranya, mereka sudah tahu itu siapa.
Celaka, batin mereka berdua secara bersamaan.
Dengan berat hati mereka mau tak mau menoleh ke arah belakang. Di belakang mereka, Lilian berdiri dengan menggenggam tongkat baseball. Ia tersenyum lebar.
"A-anu ma, m-mama pasti salah dengar." Amaris berucap, keringat dingin mulai mengucur dari pelipisnya. Bahkan ia pun tergagap saat menjawab pertanyaan Lilian.
Mereka berjalan mundur diikuti Lilian yang berjalan maju menuju arah mereka.
"Hm? Mama tidak mungkin salah dengar. Bagaimana jika kita bermain kejar-kejaran? Yang berhasil mama tangkap, akan berhadapan dengan tongkat ini bagaimana? Kalian bosan dengan petak umpet bukan?" Lilian semakin tersenyum lebar sambil mengangkat tongkat baseball yang ada di genggamannya.
"Tamatlah riwayat kita Eri." Bisik Amaris.
Eri hanya diam. Ia tidak sanggup meladeni ucapan Amaris saat ini. Ia sangat ketakutan. Yang ada dipikirannya saat ini adalah ruangan mana saja yang harus dilewatinya nanti, dan tempat mana saja yang akan ia jadikan tempat persembunyian hingga permainan itu berakhir.
Permainan itu baru selesai saat matahari terbit.
Dan itu masih sangat lama.
Mari doakan semoga mereka selamat.
-homesweethome-
makasih buat yang udah mau mampir ke cerita ini😆
jangan lupa untuk tinggalkan jejak yaa😁
sampai jumpa di next chapter~