The Beginning

1.5K 43 3
                                    

Sinar gerhana bulan masih pada posisinya. Seperti hal nya diriku, yang terpaku disudut terbuai oleh suasana. Mataku tidak kuat lagi untuk menyimpan kesalahan yang mungkin tidak bersalah.
Tak sengaja, air mata ini meluber dengan bebas membasahi pipi,
sudah tak tahan lagi. Isakan tangis menggema ke penjuru ruangan.

Terlihat besi terasah tajam berlumur cairan merah kental tergeletak di lantai. Mungkin barang itu akan menuntunku. Benda itu cukup menarik perhatian otak ku, tapi hati berkata tidak. Hingga aku kehilangan kendali dan benda tajam itu melayang ke perut ku.

Sesaat lantai yang awalnya pucat dan seputih kertas, kini tergenang cairan merah kental.

"Kringg..." Suara telepon membangunkan ku dari alam tak sadar. Dengan berat ku buka mata ini dan menatap layar handphone yang menyilaukan.

1 missed call.
Siapa yang menelfonku ditengah malam begini? Apa ini merupakan bagian dari mimpi buruk itu? Oh god!

"Brak!" Pintu terbuka dengan keras membuatku terlonjak dari tempat tidurku.

Kutapakkan kaki ku ke lantai yang sedingin es dan berjalan ke arah pintu untuk mengecek keadaan. Keheningan malam ditemani suara burung kukuk membuat suasana semakin tegang. Entah kenapa bulu kuduk ku berdiri.

"Halo? Ada seseorang disana?"
Hening. Nihil tidak ada siapa-siapa.
Ku mengurung niatku dan memutar badanku kembali ke dalam apartemen.

Tiba-tiba terasa ada yang memegang pundak ku dari belakang. Tubuhku membeku. Ekor mataku berusaha untuk melirik apa yang terjadi. Tetap. Tak ada seorang pun. Mungkin hanya perasaanku saja.

Aku terpaku ditempat ketika melihat seorang lelaki lusuh berdiri di dekat jendela. Mataku mengerjap ketika melihat apa yang dibawanya.

Pisau yang terhiasi dengan darah yang masih segar. Pria itu berjalan mendekat. Aku tak tahu harus berbuat apa. Jantungku berdegup kencang. Mulut ku hanya menganga bahkan membiarkan jika lalat masuk.

"Mau kamu apa?" Teriakku sambil mengusap air mata yang tidak aku sadari.
Dia hanya diam. Tidak membalas satu kata pun.

Tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku berlari sekuat tenaga melewati koridor apartemen.
Suasana tegang semakin menyeramkan ditambah hujan angin disertai kilatan petir.

Mataku sudah tertuju pada lift, tidak segan-segan aku menekan tombol lift berkali-kali. Sedangkan dia semakin dekat, rupanya siap mencicipi darah perawan.

"Tingg..." Pintu lift terbuka. Akhirnya setelah aku menunggu yang aku rasa telah seabad.

Eh tunggu.
Dimana pembunuh itu?
Otak ku mulai berpikir negatif. Keringat dingin mengucur melewati pelipis ku.

Terlihat bayanganku di kaca lift. Seorang wanita dengan piyama compang-camping, dan rambut kusut dengan wajah yang mengerikan. Mungkin aku sudah terlihat seperti hantu. Hantu yang sedang ketakutan lebih tepatnya.

Tiba-tiba lampu lift meredup-redup. Terlihat seseorang dibelakangku lewat pantulan lift. Kemudian gelap, tak terlihat apa-apa.

Ku merasa besi dingin yang runcing tersentuh di leherku. Air mata pun mengalir semakin deras dan membuat besi itu semakin licin.
Aku bisa merasakan sakit dan darah yang mengalir dari leherku.

Detak jantungku semakin lemah. Tanganku sedingin es. Sudah tidak ada harapan lagi. Mungkin ini akhir dari jalan hidupku. Terlalu banyak dusta yang telah ku perbuat. Tentu saja, aku tidak terima dengan cara mati ku yang seperti ini. Aku harap ada seseorang yang membalaskan dendam ku. Tunggu saja.

InnocenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang