C U A - 9

1 4 0
                                    


𝐻𝒶𝓅𝓅𝓎 𝓇𝑒𝒶𝒹𝒾𝓃𝑔 𝒶𝓃𝒹 𝑒𝓃𝒿𝓎

--🌙--

"Kamu denger nggak kalau dibilangin orang tua?!" Angkasa hanya mengangguk, mendengarkan Kinan, bundanya mengomel. Ibu satu anak itu sibuk memasak sehingga tak dapat melihat anggukan Angkasa. Merasa diabaikan, Kinan langsung mendekati putranya lalu mengacungkan codet yang tadinya ia gunakan untuk membalik ayam goreng.

Angkasa sontak beringsut mundur, menghindari minyak yang menetes. Angkasa menatap sang bunda dengan raut kesal, tetapi langsung hilang begitu saja ketika sang bunda tengah menatapnya.

Mungkin bagi orang lain tatapan itu terlihat biasa saja, tetapi bagi Angkasa tatapan bundanya saat ini adalah tatapan yang paling menyeramkan,  yang mengisyaratkan ancaman di dalamnya.

"Kalau ditanya orang tua tuh jawab! Mau bunda kutuk jadi panci kamu? Terus setiap hari dibakar di atas kompor?!" ucap Kinan yang membuat Angkasa bergidik ngeri.

"Iya, Bunda, Angkasa denger kok," jawab Angkasa dengan nada lembut dan hati-hati. Salah sedikit bisa-bisa codet penuh minyak panas itu menempel di jidatnya. Kan nggak lucu kalau jidatnya jadi melepuh, mana bekas ayam goreng lagi.

Kinan menjauhkan codetnya. "Ya udah sana istirahat. Besok kamu naik bus aja. Awas aja kalau motor kamu kenapa-kenapa, Bunda balikin kamu ke perut Bunda!"

Angkasa hanya mengangguk lalu segera berjalan ke kamar dengan langkah cepat. Setelah menutup pintu dan meletakkan tasnya, pemuda itu langsung merebahkan tubuhnya di kasur kesayangannya.

Ngekkkk!

Belum sampai lima detik, suara itu mampu membuat Angkasa terkejut bukan main, bahkan ia hampir tersungkur apabila refleknya tidak bagus. Sepertinya ketenangan tidak berpihak kepada Angkasa.

Sesuatu bergerak-gerak di atas kasur yang tertutupi selimut, dengan cekatan Angkasa segera menyibak selimut berwarna abu-abu itu.

"Astagfirullah Goyang! Elo ngapain sih di situ? Kok lu bisa masuk kamar gue?" teriak Angkasa lalu menggendong makhluk kecil dengan bulu berwarna abu-abu dominan putih.

Bukannya kesal, Angkasa langsung mengelus bulu-bulu halus kucingnya dengan penuh kasih sayang lalu mengajaknya rebahan bersama.

Pemuda dengan mata elang itu tersenyum tipis menatap kucingnya yang keenakan. Mungkin jika tidak ada kejadian waktu itu, ia tidak akan memiliki kucing.

Setelahnya, Angkasa tersenyum miris mengingat kejadian hari ini. Bagaimana bisa ia tak mengenalinya? Dan bagaimana bisa dia tak mengenali Angkasa? Di satu sisi ia merasa senang, tetapi satu sisi lainnya ia merasa kecewa karena dia tak mengenalnya, teman kecil yang selalu ia tunggu kedatangannya malah melupakannya.

Sekarang Angkasa harus bagaimana?

-🌙-

Waktu terus berputar, rutinitas sebagai pelajar kembali dilakukan. Berangkat sekolah, pelajaran, tugas, istirahat, pelajaran dan tugas lagi, lalu pulang. Membosankan.

Saat ini jam istirahat tengah berjalan. Kantin terasa sesak dan penuh. Para murid berbondong-bondong berebut makanan hingga membuat pedagang kewalahan. Tak jarang Angkasa mendengar jawaban pedagang yang menjawab "Sabar ... Tangan saya cuma dua." Terdengar sangat klasik.

Menghiraukan hiruk-pikuk kantin, pemuda bermata tajam itu tengah asik memperhatikan seseorang yang semalam membuatnya tak bisa tidur. Oh ayolah, bukankah sekarang ia terlihat seperti seorang stalker? Dan bertindak seperti ini sama sekali bukan Angkasa.

Cahaya Untuk Angkasa✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang