Tak ada sedikitpun receh tersisa di kantongnya. Wanita paruh baya yang dia sebut sebagai ibunya duduk di kursi roda, wajahnya tampak murung. Lagi-lagi Sarah berpikir mengajak kedua anaknya mencicipi pahitnya kehidupan untuk yang kesekian kali hingga berpikir akankah dia bisa membahagiakan kedua anaknya?
Sarah hanya bisa duduk diam saat Regan dan Rena sedang merapikan barang-barang yang akan dibawa untuk meninggalkan rumah kayu itu. Pemilik kontrakan telah memutuskan mengusir mereka dari pada menunggu untuk membayar uang sewa.
"Nak, maaf ya gara-gara ibumu sakit hidup kalian jadi susah begini," ucap Sarah, lagi-lagi dia menyalahkan dirinya sendiri.
Regan dan adiknya menghentikan aktivitas masing-masing lalu menghampiri Sarah yang tengah duduk di kursi roda. Matanya tertuju pada kursi roda yang tengah ia duduki.
Regan tau Sarah tengah merasa bersalah karena mereka menunggak uang sewa guna membeli kursi roda untuknya. Regan melihat Rena yang juga enggan mengatakan satu kata pun.
Mereka memeluk erat Sarah. Regan paham patah hati seorang ibu adalah melihat kedua anaknya sengsara. Namun ibunya salah kira, Regan dan Rena justru bahagia melihat Sarah bisa memiliki kursi roda guna membantu beliau beralih tempat.
Tangisan Sarah terdengar nyaring memenuhi rumah kayu yang terlihat malang itu. Regan dan Rena menenangkannya. Tanpa sadar, hatinya hancur melihat orang yang melahirkannya menderita.
Regan tidak mau kondisi ibunya memburuk. Sarah sudah cukup menderita selama ini. Regan bertekad kuat, apapun cara dan keadaannya dia akan membahagiakan ibu dan Rena lalu membalas dendam pada ayah yang tak pantas dirinya panggil ayah dengan kejam.
Dia tahu betul balas dendam bukanlah sesuatu yang baik. Tapi perbuatan ayahnya dimasa lampau masih terputar dengan jelas di kepalanya. Dia bahkan masih ingat, bagaimana cara ayah memukul ibunya sebelum bajingan itu pergi.
"Bu, sudahlah. Regan pernah bilang, kan? Kalau kita berdua bakal bahagia kalau ibu tersenyum. Jadi, tersenyumlah ibu perinya Regan," jelas Regan terhadap ibunya.
Sarah memeluk kedua anaknya. Dia bingung harus bangga atau sedih memiliki anak-anak yang selalu memikirkan kebahagiaan dia ketimbang dirinya sendiri. Disisi lain dia bangga mempunyai anak berbakti namun disisi lain dirinya merasa sedih karena tak bisa menjadi layaknya ibu yang baik untuk kedua anaknya.
Regan melanjutkan merapikan barang-barang sementara Rena menjaga ibunya. Regan berpikir keras, besok malam mau tinggal dimana mereka? Selesai merapikan barang-barangnya, Regan pamit keluar guna mencari kerja yang berupah dua bungkus nasi untuk ibu dan adiknya.
Tanpa tahu yang dituju, Regan berjalan asal mengikuti kemana kaki mau melangkah. Malam ini mungkin akan turun hujan, hawa dingin menyergap Regan tanpa permisi. Dia berjalan menuju area ruko-ruko. Sepertinya dia terlalu malam untuk mencari kerja part-time barang sehari. Dia mendudukkan dirinya di depan salah satu toko yang sudah tutup.
"Gimana caranya gue bisa dapat pekerjaan malam ini?"
Meski begitu tidak pernah terpikirkan oleh Regan untuk melakukan tindakan tidak terpuji seperti mencopet atau bahkan mencuri. Masa ia memberi makan keluarganya dengan uang haram?
Regan memijit pelipisnya yang mulai pening. Rupanya Regan baru ingat, ia belum makan sejak pagi tadi. Jam makan bahkan tidurnya benar-benar sangat berantakan.
"Sedang apa kamu?" tanya seorang pria berpakaian jas rapih dan terlihat mahal. Bukan lagi, tapi neomu mahal.
Regan mengernyitkan keningnya. Sejak kapan orang itu di depannya? Ah, mungkin dia pemilik toko ini. Dia berdiri dan menjawab, "Maaf, Saya tidak bermaksud jahat pada toko anda. Permisi."
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE
Teen FictionRegan lupa bahwa ada yang lebih berkuasa, ada yang lebih bisa mengatur jalannya kehidupan, dan ada yang lebih bisa membolak-balikan takdir dengan begitu mudah. Bagi Regan tidak ada yang lebih penting daripada pekerjaan dan keluarganya. Sebelum dia...