Regan memeluk erat berkas-berkas ditangannya. Barusan saja dia berpamitan kepada para dosennya. Tentu saja beberapa dosen sangat menyayangkan murid berbakat seperti Regan harus putus kuliah. Apalagi kendalanya karena biaya.
Padahal Regan bisa saja mengambil beasiswa seperti yang disarankan beberapa dobimnya. Namun pria dengan bola mata sipit itu berkata lain. Dia ingin bekerja guna menghidupi ibu dan adik perempuannya. Setidaknya Regan masih punya tanggung jawab membiayai sekolah adiknya yang sudah memasuki tahun terakhir pendidikan sekolah menengah pertama.
Regan terbiasa menjadi tulang punggung untuk keluarganya sejak dirinya berumur lima belas tahun. Usaha laundry kecil-kecilan yang dia rintis beserta adik dan ibunya sudah mulai berkembang.
Namun akhir-akhir ini usahanya sedang menurun drastis. Pasalnya, banyak orang yang memilih membeli mesin cuci guna menghemat pengeluaran ekonomi. Regan memutar otaknya, berusaha kembali mencari pelanggan agar usaha laundrynya tidak karam.
Mungkin Tuhan belum mengizinkan, sudah seminggu ini tidak ada satu kilogram pun cucian masuk. Sekarang banyak tukang kredit perabotan rumah tangga yang menawarkan jasa kredit dengan bunga rendah, tentu para ibu-ibu sekitar rumahnya pasti tergoda. Apalagi salesman-nya good looking. Oke, itu hanya prakira Regan.
Jadi, Regan berpikir untuk mencari pekerjaan. Setelah Regan mengemasi barang di lokernya dia bergegas untuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya kian menipis, secepatnya dia harus mendapatkan pekerjaan, apapun itu.
"Regan!"
Regan menoleh saat namanya dipanggil. Benar saja, itu Salsa. Regan mengukir senyum di bibirnya.
"Gue denger, lo mau keluar, ya?"
Regan berdeham mengiyakan.
"Jaga kesehatan lo, ya. Maafin gue gabisa bantu apa-apa."
"Hm, jangan bandel. Kerjain tugas."
Salsa tersenyum. "Siap komandan!" jawab Salsa seraya hormat pada Regan.
"Laundry lo gimana?"
"Masih, kok."
"Besok gue dateng, cucian gue bejibun."
Regan berdeham mengiyakan. "Bilang aja lo modus mau ketemu gue," goda Regan pada gadis didepannya itu.
"Ga banget, bye. Jangan lupa kalau lo butuh gue, telpon aja." Salsa tersenyum dan berlari meninggalkan Regan.
Regan tahu gadis itu gadis yang baik. Sayangnya dia belum bisa memberi timbal balik yang pantas. Salsa pernah menyatakan perasaannya pada Regan. Namun ia menolaknya secara halus.
Bukan apa, untuk saat ini masalah cinta-cintaan bukan prioritasnya. Prioritasnya kini adalah keluarganya. Ya, hanya itu.
Regan pikir usaha laundrynya akan melejit karena biaya jasanya lumayan bersaing. Namun dia salah kira. Tidak masalah, setidaknya Regan pernah mencoba. Kali ini dia harus lebih giat.
Mungkin dengan membuat brosur dan menyebarkannya secara online dan offline bisa membuat usaha laundrynya berjaya kembali. Regan akan mencoba itu nanti. Ia memikirkan bagaimana cara mengembalikan uang pinjaman kuliahnya.
Ah, sepertinya Regan benar-benar harus bekerja keras. Ia akan berusaha keras untuk itu. Janji.
Regan memutuskan pulang kerumahnya. Setelahnya dia pergi mencari pekerjaan. Hari pertama, tidak membuahkan hasil apapun. Kosong. Uang tabungannya semakin menipis.
Hingga hari ke-enam Regan masih kelintungan mencari pekerjaan yang entah harus kemana lagi ia berjalan. Lelah raga mungkin tak seberapa daripada melihat keluarganya tidur dalam keadaan lapar.
Apalagi ibu kontrakan sudah kehabisan kesabaran menagih uang bulanan yang sudah menunggak selama tiga bulan. Alhasil, mau tidak mau Regan harus keluar dari kontrakan reyot itu. Dengar-dengar sih, kontrakan itu akan dibangun ulang. Biar lebih pantas ditinggali, katanya.
Bukan karena Regan tidak bertanggung jawab hingga menunggak. Namun dua bulan kemarin usaha laundrynya lumayan rame, sehingga Regan menyempatkan membeli kursi roda untuk ibunya yang kesusahan berjalan.
Jadi Regan pikir bulan ini bisa untuk membayar full yang kontrakan yang menunggak. Namun nyatanya sudah dua minggu ini hanya Salsa yang masuk ke laundrynya.
Regan kira, usaha dengan modal kecil dan tidak pernah sepi, ya laundry. Lagi-lagi Regan lupa, dunia penuh dengan kemungkinan. Seperti saat ini, tiba-tiba saja ibu-ibu komplek memiliki mesin cuci sendiri. Dan rajin menyetrika. Mungkin ada lomba. Ya mungkin saja kan?
Di depan gang, Regan melihat pak Samsul—pedagang nasi goreng. Regan segera memesan nasi goreng, dan membayar dengan uang biru yang sejak tadi digenggamnya. Uang terakhirnya.
"Oke, gue janji. Kalau ada orang menawarkan pekerjaan, bakal gur terima apapun pekerjaannya. Yang paling penting ibu sama Rena gak kelaparan malam ini."
Regan membeli dua bungkus nasi goreng untuk ibu dan adiknya. Untuk Regan? Sepertinya dia tidak terlalu lapar.
Ia pulang kerumahnya, disambut hangat oleh adik dan ibunya. Tak kuasa, Regan ingin menangis saat ini juga. Saat seluruh dunia mengacuhkan kehadiran Regan, namun disini, di rumah ini, Regan mendapatkan banyak kasih sayang.
Mereka segalanya untuk Regan. Regan berjanji akan membuat hidup mereka lebih makmur, apapun konsekuensinya. Regan siap kehilangan apapun, kecuali keluarganya.
Rumah reyot ini, menjadi saksi bisu akan janji-janji yang Regan buat sendiri untuk keluarganya. Sekeras apapun, Regan akan berusaha. Sesusah apapun, Regan akan mencoba membiasakan.
Bagi Regan perasaannya tidak terlalu penting. Kesehatannya sekalipun. Asal bisa melihat ibu dan adiknya tersenyum, itu sudah lebih dari cukup.
"Semoga besok gue nemu pekerjaan, apapun itu gue harus kerja."
***
Maaf guys, aku re-publish. Soalnya yang kemarin itu kurang sreg aja gitu, huhu. Mohon tandai kalau ada typo dll ya. Thanks udah baca. Jangan lupa votenya woi, tak tutuk nanti kamu.
Salam gemoi, Arcalya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE
Teen FictionRegan lupa bahwa ada yang lebih berkuasa, ada yang lebih bisa mengatur jalannya kehidupan, dan ada yang lebih bisa membolak-balikan takdir dengan begitu mudah. Bagi Regan tidak ada yang lebih penting daripada pekerjaan dan keluarganya. Sebelum dia...