Chapter 10 - Mengharap Secercah Harapan

7 1 0
                                    

Lima belas menit berlalu. Gerimis masih membungkus Ibu Kota.

Rintik hujan membuat becek jalan setapak yang membagi dua area pemakaman (blok barat dan timur). Padahal area pemakaman ini adalah yang terluas dibanding wilayah Ibu Kota lainnya. Kebobrokkan pihak pengelola pemakaman ini dalam hal tata letak dan perawatan membuatku geram. Apakah mereka tak bisa bekerja dengan becus? Kalau bukan karena terpaksa, mungkin aku tidak akan memilih pemakaman ini sebagai tempat peristirahatan terakhir sanak familiku.

Aku masih betah di tempatku berdiri, di bawah pohon jati yang kebanyakan daunnya berwarna kecokelatan. Maklum, usia pohon itu berbilang puluhan tahun. Setidaknya itu yang dikatakan oleh kenalanku yang bekerja di sini. Karena batang pohon itu sudah menjulang terlalu tinggi, dan proses penebangannya bisa membahayakan pengunjung, serta pusara-pusara yang telah tersusun rapih di area pemakaman. Maka, pihak pengelola memutuskan untuk membiarkan pohon itu untuk tetap tumbuh.

Padahal itu hanya akal busuk mereka saja. Sengaja membiarkan pohon itu tetap tumbuh karena tidak mau mengeluarkan biaya untuk menebangnya. Pihak pengelola pemakaman ini terkenal akan keculasannya!

Area pemakaman mendadak sepi pengunjung. Tak ada lagi aktivitas tabur bunga yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang ketika berziarah. Lantunan ayat suci dan gemuruh takbir yang dikumandangkan melalui pengeras suara Masjid pun sudah tak terdengar lagi. Anak lelaki yang tadi bersedih di muka pusara pun sudah tak terlihat lagi.

Suasana menjadi hening. Mendamaikan hati.

***

Keheningan membuatku merasa damai.

Mataku mengerjap, samar-samar melihat seorang lelaki berperawakan tegap, berdiri di sebelahku. Lelaki itu mengenakan jubah putih, khas dokter. Dokter itu mengangkat kedua tangan, telapaknya mengarah padaku, "Dari satu sampai sepuluh, seperti apa rasa sakit yang kau alami saat ini?" Ucapnya dengan halus. Lemah, lembut. Tak seperti dokter yang biasa menanganiku, bersuara lantang macam lulusan dari sekolah militer.

Aku menatapnya lamat-lamat. Macam tak pernah melihat yang satu ini. Dokter barukah? Wajahnya tampak muda, macam usia kepala tiga. Dokter yang biasa menanganiku berkepala plontos. Seekor kutu pun pasti akan terpeleset karena kepalanya yang licin. Berbeda dengan yang satu ini, berambut jambrik.

Aku mengangkat kedua tanganku. Memberi isyarat menggunakan jemari, "Tujuh". Kemudian, Dokter itu melirik ke arah seorang Suster yang sejak tadi berdiri di belakangnya. Suster itu mencatat seluruh perkataan yang diucapkan oleh Sang Dokter. Lalu mereka pergi meninggalkanku seorang diri.

Mataku melirik ke kanan-kiri, baru menyadari kalau ruangan ini bukan seperti ruangan rumah sakit yang biasa kudatangi. Rasa-rasanya ini kali pertama aku dirawat di sini. Warna putih mendominasi seisi ruangan ini. Langit-langit, dinding, lantai, kasur, Semuanya serba putih. Terkesan sederhana. Membosankan!

Selang infus dan belalai menghunjam tubuhku. Kau tak perlu takut, ini bukan kali pertamaku dirawat di rumah sakit. Tetiba jatuh pingsan pun hal yang biasa kualami. Tak ada hal yang perlu aku khawatirkan. Pasti semua akan baik-baik saja.

Sejujurnya, aku tidak banyak mengingat apa yang terjadi kala itu, saat aku terjatuh pingsan. Tergeletak di ambang pintu. Yang paling kuingat adalah rasa sakit pada dadaku. Sakit betul, macam ditikam pisau! Tak seperti biasanya.

Tubuhku masih terasa lemas, belum sepenuhnya pulih. Mataku mengamati kuku jari tanganku. Astaga. Semuanya berwarna biru pekat! Kulit tanganku pun terlihat agak pucat. Membuatku tak berani menatap diriku di cermin. Khawatir tak lagi mengenali diriku sendiri.

Mataku juga melirik jam dinding, jarum menunjukkan pukul dua belas.

Aku terkejut. Membuatku bertanya-tanya, berapa lama aku pingsan? Tiga empat jam? Mungkinkah selama itu? Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

The Law Of PsychologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang