Merana... sungguh merana...
Saat Papa menikahi janda...
Maaf, tidak bermaksud merusak lagu orang lain. Tapi seperti itulah gambaran isi hati seorang Key saat ini. Melihat Papa mengucapkan ijab kobul dengan lancarnya, lalu menggelar pesta besar-besaran yang menghabiskan waktu tiga hari tiga malam. Aku seperti nyamuk yang keberadaannya sama sekali tidak ada yang mengharapkan.
Beberapa temanku yang kebetulan anak temannya Papa menghampiriku. Menepuk bahuku, dan memberiku tatapan prihatin. Aku mengabaikan mereka, sedikit jengkel saat mereka mulai menggoda Aldo yang terus saja ada di belakangku seperti ekor.
Malam ini, Aldo memakai kemeja biru muda dan celana baggy warna hitam. Warna pakaiannya sama dengan warna gaun yang kukenakan. Mungkin, kebetulan yang tidak bisa terelakkan. Tidak aneh kalau beberapa orang menganggap kami adalah pasangan.
Aku duduk di kursi taman. Memasang wajah kesal sambil melempar pandangan sebal ke arah Papa yang tengah mengobrol dengan teman-temannya. Garden party adalah tema terakhir malam ini. Setelah ini, besok tidak akan datang tamu undangan lagi. Beberapa kali Papa mengenalkanku juga pada anak teman-temannya yang banyak kuliah di luar Negeri.
Saat mereka menawarkan perjodohan, dengan entengnya Papa bilang kalau aku sudah punya tunangan sejak bayi.
Bullshit!
Aku tidak pernah mendengar apa pun soal itu sejak dulu. Tapi setidaknya aku bersyukur, Papa tidak bertindak kekanakkan menjodoh-jodohkan aku seperti kebanyakan orang yang terlahir dari darah biru.
"Kamu gak pa-pa?"
Aku mendongak, menatap cowok yang berdiri di depanku sambil tersenyum manis. Dia memakai jas resmi dengan rambut disisir rapi ke belakang. Khas para bangsawan Inggris saja dandanannya itu. norak!
"Gak pa-pa." Aku menjawab cuek. Menunduk lagi, menatap dua kakiku yang dipaksa Aldo memakai high heels. Dia bilang, kalau aku tidak mau memakai semua pakaian yang dia pilihkan sendiri, maka dia yang akan memakaikan.
Memikirkan Aldo memaksaku ganti pakaian membuatku malu sendiri.
Aduh, nanti kalau tiba-tiba dia macam-macam bagaimana?Deadline, deh, Key. Bukan waktunya untuk memikirkan hal yang aneh-aneh. Terkadang imajinasi di dalam kepalaku itu memang memalukan. Masa baru kenal sepuluh hari aku sudah mimpi bibir kami bertabrakan?
Bukan ciuman loh, ya.
Ini benar-benar tabrakan.
Tabrakan maha dahsyat yang mengguncangkan bumi dan planet-planet di sekitarnya.
"Katanya kamu udah punya calon sendiri, ya?" cowok itu duduk di sampingku. Aldo masih setia berdiri di sisi yang lain. Dia itu sudah seperti patung saja. "Sayang banget, ya?"
"Tuh, aku punya sodara tiri!" aku menunjuk dengan daguku, pada dua orang cewek yang seperti alien norak yang tidak pernah memakai baju bagus menghadiri pesta. Mereka sibuk ke sana-kemari, mencari kenalan dan mendekati cowok-cowok kaya dengan gembelnya. "ambil aja kalo mau. Sekalian, sama ibunya juga."
Cowok di sampingku tertawa. Aku menoleh dan menatapnya aneh. Dia mengacak-acak rambutnya, melepas kaitan jas, dan melonggarkan dasinya. Satu kancing teratas kemeja dia buka. Yah, setidaknya penampilannya yang seperti ini lebih manusiawi. Aku sendiri juga lebih nyaman.
"Kamu gak suka sama keluarga baru kamu?"
"Mampus." Aku mendesis. "Kenapa? Mau laporin sama mereka?"
"Aku bahkan gak kenal sama mereka." Cowok itu mengangguk-angguk. Dia balas menatapku. "Kamu gak betah juga di pesta kayak gini? Dipaksa pake baju yang gak kamu suka, dipaksa senyum saat kamu gak ada niat senyum?"