Gadis berambut cokelat panjang itu tengah sibuk dengan ponsel miliknya sambil sesekali melihat sekeliling seolah tengah menunggu seseorang yang akan datang. Hanna menghela nafas panjang seolah hal seperti ini memanglah sebuah kebiasaan. Ia sedang menunggu sahabatnya Elina yang rencananya hari ini akan menemaninya pergi ke acara pameran lukisan Van Gogh yang diadakan di New York. Bisa dibilang acara malam ini begitulah penting karena ini adalah kesempatan Hanna untuk berkunjung secara langsung karena sebelumnya gadis itu hanya mampu menikmatinya melalui siaran video.
Sejak kecil, Hanna memanglah suka dengan hal-hal yang berbau seni. Sama halnya dengan sang Ibu yang juga merupakan penggemar berat karya-karya lukis dan juga bentuk karya lain seperti buku.
"Astaga Elina... Dari mana saja kau ini?" tanya Hanna ketika sosok Elina baru saja menampakkan diri dengan pakaian yang menurut Hanna sangat luar biasa. Ia tidak menyangka sahabatnya ini akan mempersiapkan diri dengan begitu baik, sedangkan dirinya hanya mengenakan jas hitam yang sedikit formal dengan high heels sebagai pemanis.
"Apa pakaianku terlihat berlebihan?" tanya Elina kembali tanpa menjawab pertanyaan yang sempat dilontarkan oleh Hanna.
"Tidak." jawab Hanna sambil berjalan menuju taksi yang sudah menunggu mereka sejak tadi.
Gadis bergaun selutut itupun berjalan mengikuti Hanna menuju taksi yang sudah mereka sewa.
Acara malam ini sebenernya tidaklah private, dan lebih kearah pameran bebas yang mana siapa saja boleh berkunjung untuk melihat karya-karya sang maestro yaitu Van Gogh.
Hanna hanya menyayangkan bahwa Ibunya tidak bisa ikut andil menikmati suasana malam ini yang begitu spesial karena harus ikut dengan Ayahnya untuk sebuah pertemuan bisnis yang tidak bisa ditinggal. Dan rupanya bisnis itu berkaitan dengan Paman Nicho. Ah, Hanna jadi rindu dengan Pamannya itu. Sudah satu minggu lamanya pertemuan mereka dan rasanya seperti mimpi karena akhirnya Hanna bisa bertemu dengan laki-laki baik itu. Paman Nicho memanglah baik, sangat-sangat baik. Ibunya banyak bercerita mengenai jasa Paman Nicho kepada keluarganya hingga saat ini. Seperti kejadian ketika terjadi krisis keuangan di perusahaan Ayahnya, dan Paman Nicho yang dengan suka rela menyuntikkan dana serta menjalin kerja sama. Hanna tidak tahu lagi harus mengatakan apa, karena menurutnya kata terimakasih tidaklah cukup untuk membalas jasa Paman Nicho selama ini.
Hanna
"Hey, apa yang kau pikirkan? Kau mau tetap disini atau melihat lukisan-lukisan bodoh di sana?" Lamunanku pun buyar saat itu juga.
Setelah membayar ongkos taksi aku pun beranjak turun sambil mengagumi lampu-lampu sekitar yang begitu indah.
"Lukisan bodoh katamu?" cibirku sambil berjalan mendahului Elina yang sepertinya kerepotan karena pakaian yang ia kenakan.
Elina berteriak memanggil namaku ketika aku dengan sengaja berjalan lebih cepat darinya untuk masuk lebih dulu meninggalkan dirinya.
Aku terkagum-kagum begitu akhirnya bisa masuk kedalam. Benar-benar sebuah keajaiban. Aku berkeliling untuk mengamati setiap lukisan yang ada sambil berdecak kagum. Ada hal lain yang baru ku sadari, lukisan yang di pamerkan ternyata tidak hanya lukisan Van Gogh saja, melainkan lukisan-lukisan lain dari pelukis lokal yang juga punya makna tersendiri seperti karya milik Van Gogh.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.