RB.2 [Where are you Jindra]

12 3 3
                                    

"Dedek gemoy, adeknya babang Chandra," Chandra mendekati Zey yang sibuk dengan handponenya.

Zey menatap Chandra dengan jijik. Ia hanya berdehem lalu menggeserkan badannya agar Chandra bisa duduk di dekatnya.

"Zey...," ucap Chandra lembut.

"Apasih!" zey mematikan handponenya lalu melirik Chandra dengan tatapan tajam yang bisa ia keluarkan.

"Pinjem duit dong Zey. Janji dah bakal gue balikin!" Ucap Chandra dengan peace.

Zey mengeluarkan dompetnya lalu memberi Chandra uang merah dua lembar. Senyum Chandra mengembang, ia memeluk Zey dengan gemas dan dibalas pelukan oleh Zey.

"Minggir! Gue mau nyelesain misi!" kesal Zey dikala Chandra tak mau melepaskan pelukannya.

"Yang sopan sama Abang!" kesal Chandra.

"Gimana mau sopan, lo aja lebih pendek dari gue. Haha," Zey tertawa renyah. Matanya masih berfokus pada game yang dua mainkan.

Chandra hanya mencebik kesal. Biarlah dia dibully oleh bocah. Asalkan bocahnya sultan.

"Yang lain pada kemana Zey?" tanya Chandra.

"Bang Tama kerja. Bang Nathan ke rumah sakit. Bang Reno sama Kak Juna, ngojek. Kalau si Jindra nyebat paling." Zey menjawab pertanyaan Chandra dengan mata yang masih berfokus pada handpone.

Chandra hanya mengangguk-angguk paham. Dia berpindah tempat duduk, lalu merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang kosong. Nyaman sekali.

Chandra bersiap menutup matanya, disaat dirinya hampir masuk ke dunia mimpi.  Dia dikejutkan dengan roti lembut yang dipaksa masuk ke dalam mulutnya.

"Diem bangsat, gue mau tidur!" kesal chandra dengan mengunyah martabak manis.

rupanya Reno yang menganggu bocan Chandra. Sialan, batinya.

"Bangun lo! Sholat ashar. Molor aja terus, kalau lo masuk neraka gue yang bakal ngetawain lo duluan," ucap Reno pada Chandra yang masih kesal.

"Lo bakal puas ngetawain Chandra. Karena lo juga bakal masuk neraka, penghuni kok tengkar." Nathan menyela pembicaraan mereka, kalau tidak diatasi pasti akan terjadi perang besar.

Chandra dan Reno hanya menyinyir. Mereka berdua sudah berancang-ancang untuk berkelahi. Membuat Nathan berdecak sebal dan pergi duduk ke sofa.

"Gimana Bang?" tanya Zey saat melihat Nathan duduk di sebelahnya. Nathan menoleh, lalu tersenyum.

"Ye mau begimana lagi, disuntik, dikasih obat, terus dinasehatin. Hadeh. bosen hidup lama-lama," ucap Nathan dengan melemparkan bungkusan obat-obat yang diresepkan dokter untuk dirinya.

"Bang Tama denger, lo bakal kena marah," ucap Chandra yang diangguki oleh Zey dan juga Reno.

"Siapa yang bakal marah?" Semua orang mengalihkan pandangan menuju pintu yang terbuka. Disana ada Tama dan Juna yang masuk bersamaan.

"Si Nathan katanya bosen hidup Bang!" timpal Reno yang mendapat belikan tajam dari Nathan.

"Cepu lo bangsat!" kesal Nathan. Dirinya gugup sendiri, sudah cukup dirinya mendengar ocehan dokter. Ia tak mau mendengar ocehan Mark. Itu terlalu panjang dan meletihkan.

"Just kidding brother," ujar Nathan menunjukan gigi-giginya yang rapi.

"Hadeh, terserah dah. Mending wudhu, kita sholat dulu. Hari ini yang jadi imam Reno 'Kan?" tanya Tama yang mendapati anggukan oleh Reno.

Semuanya mulai bubar, kecuali Nathan. Semuanya bersiap untuk melaksanakan sholat. Ada yang menyiapkan sajadah dan ada juga yang masih mengambil wudhu. Hidup yang damai...

"Kalian sholat aja dulu. Gue mau keluar bentar," ucap Nathan yang membuat semua orang mengangguk.

Tama tersenyum, ia menghela nafasnya. Membesarkan sekelompok orang yang memiliki masalah hidup yang serius tidaklah mudah. Sebenarnya Tama tak ada niat untuk menampung bocah-bocah ingusan seperti mereka. Namun...

Kondisi mereka memprihatinkan, kondisi mereka sama seperti Tama disaat dirinya terpuruk. Saat itu, tak ada yang membantunya keluar dari masalah. Dirinya harus berjuang sendiri dan akhirnya Tama bisa sejauh ini.

Juna yang sering dibully, Reno yang selalu dikekang, Chandra yang selalu diasingkan, Nathan yang penyakitan, Zey dan Jindra si anak malang,

Semua itu sudah Tama rasakan. Tapi dirinya bisa menahan semua sakit itu, entahlah dengan bocah-bocah ingusan yang berada di depan Tama saat ini.

Semuanya selesai sholat dan langsung berkumpul di ruang tamu yang cukup lebar.

Nathan masuk kerumah dengan tangan yang penuh dengan makanan.

"Udah yah Bang, marahnya dipending. gak usah marah dulu hari ini. Gue beliin bakso nih!" ucap Nathan merayu Tama.

Tama hanya mengangguk. "Yaudah, yok kita party!" sorak Tama menyemangati.

Semua orang bersorak senang dan mulai berlarian pergi ke ruang makan.

Tama tersenyum, mereka berenam memang bukan siapa-siapa Tama. Tapi mereka, adalah adik-adik Tama.

Saat ini, mereka berada di ruang makan. Menikmati bakso yang sudah lumayan dingin, tapi nikmat.

"Jwndwa kwwapa blyum pwulwnwg?" Zey bertanya dengan mie yang penuh di mulutnya. Membuat Nathan berdecak marah menatap Zey.

"Jijik anjir! Yang bener kalau makan. Habisin dulu tuh mie baru ngomong!" ucap Nathan kesal, Zey hanya bisa tersenyum kikuk.

Zey menelan semua mienya, lalu meminum air dengan sekali teguk. "Jindra kenapa belum pulang, dari tadi pagi dia nggak kelihatan?" tanya Zey, membuat semua orang memberhentikan makannya.

"Mungkin Ibunya lagi di Jakarta. Gue juga gatau, pas gue tanya dia jawab "menemui secercah kebahagiaan bang." Gitu katanya." Semua orang nampak berpikir keras, lalu mereka mencoba untuk berfikir positif.

Mungkin masalah Jindra akan berakhir. Berbahagialah Jindra.

"Jindra lo kenapa!?"

Mungkin tidak...

.
.
.

REDBOOK2 FINISH!
CAN YOU VOTE MY STORY?

REDBOOK [seven dream]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang