Babak 1

9 0 0
                                    


"Al makan yuk!"

"Duluan aja mbak, tanggung nih." Tolak Alma sembari mengalihkan perhatiannya ke arah Mbak Dini, atasannya.

"Beneran nggak mau bareng? Berani emang?" tanya Mbak Dini memastikan. Mbak Dini sudah siap dengan pouch kecil berisi dompet, ponsel dan lipsticknya. Perlengkapan yang Alma perhatikan selalu dibawa oleh Mbak Dini setiap kali makan siang.

"Belajar berani mbak. Masa kemana-mana sama Mbak Dini terus," jawab Alma sembari menyunggingkan seulas senyum yang Alma harap terlihat cukup meyakinkan.

"Ya udah. Mbak duluan ya" pamit Mbak Dini.

"Duluan ya Al." pamit Helen yang mengekor Mbak Dini.

Setelah Mbak Dini dan Helen pergi, Alma memutuskan untuk kembali berkutat pada pekerjaannya dan mengabaikan perutnya yang berbunyi nyaring. Sepertinya cacing-cacing di perutnya sedang protes karna sedari pagi belum mendapatkan asupan makanan apapun selain secangkir kopi. Kebisaan buruk Alma.

Alma sengaja menolak pergi ke kantin bersama Mbak Dini. Bukan karna ia tak lapar karna nyatanya toh perutnya keroncongan. Ia hanya tak enak dengan Mbak Dini yang selama dua hari terhitung sejak hari pertamanya di kantor ini selalu saja mentraktirnya makan siang. Kebiasaan Mbak Dini, begitu kata Helen saat Alma bertanya kemarin.

"Makan siang dulu gih Al. Ntar lagi kerjanya"

Alma sedikit tersentak. Kaget dengan kehadiran Mbak Dini dan Helen yang menurutnya tiba-tiba. Padahal sejak membuka pintu tadi, Mbak Dini dan Helen sudah lumayan berisik.

"Eh... mbak ngagetin kamu ya? Sorry... sorry..."

"Nggak apa-apa kok mbak. Aku nya aja yang terlalu fokus sampai nggak nyadar Mbak sama Helen udah balik"

"Ya udah berhubung kita udah balik kamu makan dulu gih sana." Timpal Helen yang mulai fokus ke layar laptopnya.

"Ya udah aku ke kantin dulu ya," pamitnya setelah meraih ponsel dan dompetnya yang memang sudah ia siapkan diatas meja.

***

Sejujurnya pergi ke kantin sendirian tanpa Mbak Dini dan Helen sedikit membuat Alma tidak nyaman. Bukan karna Alma tidak terbiasa kemana-mana sendiri. Hanya saja sebagai pegawai baru, Alma sepertinya membutuhkan lebih banyak waktu untuk beradaptasi hingga ia bisa nyaman kemana-mana sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak mungkin kan Alma naik lagi ke lantai tujuh dan minta ditemani Helen atau Mbak Dini.

Alma menghela napas panjang dan meyakinkan dirinya kalau semuanya akan baik-baik saja sebelum melangkah memasuki kantin yang sialnya masih saja ramai walaupun jam sudah menunjukkan pukul satu lebih.

Ayolah al, Cuma perlu pesan makanan, bayar dan cari meja. Apa susahnya sih, batin Alma meyakinkan dirinya sendiri.

Setelah memindai dengan cepat menu-menu yang terpasang diatas setiap stand penjual makanan, akhirnya Alma memutuskan untuk memilih soto ayam. Alma sedang malas memesan lalapan yang akan membuatnya terlalu banyak bergerak.

Alma beruntung menemukan satu meja yang baru saja ditinggalkan begitu ia selesai membayar soto ayam dan es tehnya jadi Alma tidak perlu susah-susah mencari meja kosong ataupun terpaksa bergabung dengan orang lain mengingat kantin yang masih saja penuh walaupun jam istirahat makan sianh sudah selesai.

"Sorry, boleh duduk sini?"

Alma yang tengah asyik menscroll timeline Twitternya mendongak dan mendapati seorang laki-laki yang Alma yakin satu kantor dengannya tengah berdiri diseberang Alma, dibelakang kursi kosong yang ada di depannya.

"Tempat yang lain penuh. Cuma ini yang isinya satu," jelas laki-laki itu saat Alma belum juga menjawab.

Jelas laki-laki itu mengartikan keterdiaman Alma sebagai keengganan

"Oh... silahkan," jawab Alma terlambat.

Laki-laki itu menggumamkan terimakasih sebelum menarik kursi didepan Alma dan duduk.

"Kamu Almadina kan? Anak buahnya Mbak Dini?" tanya laki-laki itu.

Alma yang sudah mulai asyik lagi menscroll timeline Twitternya memilih keluar dari media sosial favoritnya itu dan meletakkan ponselnya. Akan sangat tidak sopan rasanya kalau Alma masih saja bermain ponsel padahal jelas-jelas teman semejanya cukup berminat untuk memulai obrolan dengannya.

"Yups. Kalau kamu? Maaf ya saya lupa, tempo hari pekenalannya singkat sekali. Jadi agak susah ingatnya"

Laki-laki itu mengangguk dan tersenyum maklum.

Alma terpaku. Tiga hari yang lalu saat Mbak Dini membawa Alma berkenalan, Alma yakin kalau ia sudah berkenalan dengan laki-laki ini. Tapi kenapa baru sekarang Alma menyadari kalau senyum laki-laki ini hangat sekali? Seolah tiap kali ia tersenyum, ia melakukannya dari dasar hatinya. Senyum yang hangat dan juga tulus. Senyum yang terakhir Alma lihat lima tahun lalu. Senyum almarhum ayahnya.

"Segara. Gara" laki-laki itu-Gara-mengulurkan tangannya ke arah Alma.

Selama sepersekian detik Alma menatap tangan itu sebelum balas mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Gara mantap.

"Almadina" ucap Alma. "Maaf ya harus diulang lagi perkenalannya."

"It's okay, Al. Gapapa" ujar Gara sembari tersenyum.

Alma kembali terpaku. Sepertinya ia akan sangat senang kalau bisa melihat senyum itu setiap hari.

***

Cinta Satu BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang