7-❋Tidak ingin mengenal

11 1 0
                                    

Penyesalan memang datang di akhir.
Itulah kenapa, saya tidak pernah memulai. Karena jika itu terjadi, maka epilog pada cerita akan menimbulkan rasa sakit. Bagi saya dan bagi kasih.

-J
.
.
.

Entah sudah ke berapa ribu lembar kertas dari kisah kehidupan Jadistia Amita selama 25 tahun Ini ia rangkai. Dan hari ini, malam ini, entah kenapa satu lembar bagian dari kisahnya bertinta putih di atas kertas kusam. Lembar yang satu ini akan menjadi berbeda, akan selalu di ingat di antaralembar-lembar yang lainnya.

Tidak,di lembar yang satu ini kalimat-kalimat yang di rangkai tidak banyak, karena begitulah adanya.

Pohon Ketapang di atas mereka kini terdiam, diikuti dua manusia yang duduk di kursi taman tepat di bawahnya. Jadis menatap lalu lalang manusia-manusia di depannya dengan gurat dingin, begitupula Jeje yang duduk di sampingnya. Tidak ada perbincangan yang akan di bahas.

Mereka mati topik.
Menyelam ke dalam pikiran sendiri, mengabaikan tawa dan candaan yang lebih dominan terdengar dari orang-orang di sana.

"Apa saya boleh berkenalan ulang dengan Anda?" Tannya Jeje, yang di balas dengan kerutan kentara di dahi Jadis. Heran dengan pertanyaan itu.

"Pertanyaan anda itu aneh." Jawab Jadis jengah.

Bulan di atas sana masih setia menampakkan diri. Cahayanya 'tak redup, beradu dengan lampu warna-warni pameran.

"Kalau tidak mau, yasudah." Ucap Jeje. Ia mengalihkan tatapannya ke samping, membuang muka dari Jadis.

"Tunggu, saya bukannya nggak mau,Je. Tapi untuk apa?" Tannya Jadis . Sungguh, berbicara dengan Jeje adalah sesuatu yang sangat-sangat menguras emosi bagi jadis. Pria itu hidup dengan dunianya sendiri.

Tidak ada jawaban apapun dari Jeje, pria itu benar-benar mengabaikan Jadis.
"Je! Anda marah?" Jadis mendekatkan diri kepada Jeje. Melihat ke arah wajah Jeje yang terpejam, mengabaikan segala perkataan Jadis.

"Hey! Jangan mengabaikan ku!" Suara Jadis meninggi, kesal dengan pria yang berada di sampingnya ini.

"Makannya! Ayo berkenalan!" Jeje menatap Jadis dengan jengkel, lalu mengulurkan tangannya di depan Jadis.

Tatapan Jadis meredup, tangan putih yang terulur di depannya mengambang di udara tanpa balasan.
"Tidak Je, saya tidak mau." Ucap Jadis.

"Apa susahnya menjabat tangan saya?" Ucap Jeje kesal.

"Kenapa harus berkenalan ulang,sih?!"

Perdebatan yang untungnya tidak menimbulkan kericuhan di tengah-tengah ramainya orang itu berlangsung tanpa sadar.

"Biar kita tidak terlalu formal!"

Terdiam. Jadis terdiam atas perkataan Jeje.

"Memangnya setelah
tidak formal, Anda mau apa?" Tannya Jadis lagi.

Kali ini Jeje yang terdiam dalam keramaian. Dia kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Jadis.

Jadis yang mendapat keterdiaman dari jeje menghela nafas berat. "Tidak ada jawaban,huh?"

Setelah mengatakan itu, perempuan itu menyenderkan punggung lelahnya di punggung kursi taman. Kembali menatap jalan setapak yang cukup ramai di depan mereka, begitu pula Jeje.

"Saya tidak mau menyesali apapun, Jadis."

Ucapan Jeje yang membuat Jadis mengalihkan tatapannya. Kembali perempuan itu di buat bingung dengan perkataan Jeje.

"Menyesali apa?" Tannya Jadis.

Jeje mengalihkan tatapannya ke dalam mata Jadis, mencari sesuatu yang dapat menumbuhkan harapan-harapan baru bagi pria itu.

"Karena tidak mengenal mu."

Entah apa yang terjadi, tetapi hati Jadis seperti di sengat listrik 1000 Watt. Debarannya menggila, meskipun perkataan Jeje barusan adalah kata-kata yang entah apa maksudnya.

Rona kentara merambat, menghiasi wajah putih Jadis.

"Saya akan sangat menyesali itu." Jeje menunduk, menatap sepatu Jordan hitamnya. "Karena, saya tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Sejujurnya, di balik kesibukan saya yang terus datang ke toko itu ada alasannya, Jadis." Matanya beralih menatap jadis yang terdiam. "Alasannya-"

Tangan Jeje beralih ke wajah Jadis. Mengelus pipi putih perempuan itu tanpa menyentuhnya, lalu dengan tiba-tiba mencubit hidung mancung Jadis.

"Awh!" Jadis mengeluh sakit. Cubitan itu benar-benar terasa, sampai membuat hidungnya kemerahan.

"Hehehe, manis." Ucap Jeje tanpa bersalah. Tawanya menguap, menciptakan suasana hangat yang perlahan-lahan membuat hati mereka berdua berdebar senang.

"Sakit!" Satu tamparan telak di layangkan di pundak Jeje.

"Awh! Jangan begitu!" Keluh Jeje, merasakan panas yang kentara di bahunya.

"Siapa yang manis,huh?!" Tannya Jadis dengan kesal.

Kekehan Jeje perlahan-lahan mulai mereda. Digantikan dengan gerutuan tidak jelas dari Jadis di sampingnya.

"Jadis."

"Apa?!" Jawabnya masih dengan nada kesal.

"Jadis yang manis."

Ucap Jeje yang membuat Jadis ingin memanjat batang ketapang yang menjulang tinggi di belakangnya, setelah memanjat Jadis akan berteriak kesenangan. Bersama penunggu batang ketapang yang mungkin akan senang atas pujian yang Jeje berikan untuk Jadis.

Oke, siapa yang tidak senang di puji seperti itu?

"Tutup mulut anda itu." Ucap Jadis, meskipun jantungnya benar-benar siap untuk meledak dalam hitungan detik.

Tak lama dari itu Jeje berdiri dari duduknya. Lalu menatap Jadis yang terdiam melihat pergerakan pria itu.
"Ayo Nona, kita pulang. Bukankah besok kita harus berkerja?" Tannya dengan senyum hangat.

Jadis balas tersenyum, walau rasa kesal di hatinya masih bersarang. "Baiklah Tuan!"

.
.
.

"Jadi, berpisah di sini?" Tannya Jeje kepada Jadis yang berdiri di sampingnya.

Jadis mengangguk ringan sebagai jawaban.

"Besok anda akan datang ke toko roti?" Tannya Jadis.

Jeje membuat gelagat berfikir, "saya tidak janji." Setelah mengatakan itu, Jeje membuka pintu mobilnya.
"Tetapi, saya akan datang lagi ke tempat itu nanti." Senyum terbaik ia tunjukkan di akhir. Lubang cacat yang terbentuk di kedua pipinya benar-benar menyita perhatian Jadis. "Cepat masuk, angin malam tidak bagus."

Jadis menurut. Membuka pintu mobilnya, lalu masuk ke dalam. Menyamankan diri di kursi kemudi lalu menghela nafas berat. Kaca sebelah kananya ia turunkan, menampakkan wajah Jeje yang sedang tersenyum di dalam mobilnya.

Dari dalam mobilnya, Jeje melambaikan tangan ke arah Jadis. Mengucapkan kata 'Bay!' dengan mimik mulut yang di baca jelas oleh Jadis. Jadis membalasnya dengan hal serupa, lalu terkekeh geli.

Jadis menutup kembali kaca mobilnya, menyisakan lengang yang membuat debaran jantung Jadis terdengar jelas.

"Terimakasih, Jeje." Gumam Jadis pelan, lalu menghidupkan mobilnya.

Meninggalkan area parkir pameran yang mulai sepi.

Di sisi lain Jeje masih mempertahankan senyumnya. Lalu menghela nafas gusar, diikuti dengan lunturnya senyum itu.
"Maaf, Jadis."

.
.
_

Jika cinta bisa membuat kita tersenyum sampai menangis bahagia, maka cinta juga bisa membuat kita sakit sampai meringkuk di tanah dengan tangisan nanar.

-dchanluv

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Warm SweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang