7. Cafe bersama.

62 26 2
                                    

Selain Rafa, Marvin adalah sahabat terbaik yang pernah Jiro miliki. Dulu. Sebelum sifat busuknya tercium oleh Jiro dan yang lain.

Sejak menginjakkan kaki dibangku kelas 9 sampai sekarang duduk dikelas 11 ips 1, Jiro sudah mengenal yang namanya dunia malam. Setiap hari pulang larut hingga tak sekali dua kali dalam keadaan carut marut.

Jiro memiliki sebuah kelompok. Baginya mereka semua orang baik. Orang-orang yang membuat nya merasakan validasi disaat rumah selalu menyambut nya dengan sepi. Dan diantara orang-orang itu ada Marvin. Laki-laki dengan perawakan disegani yang selalu membimbing nya tanpa pamrih.

Marvin Saraga. Kelahiran Canada tahun 1999. Dia lebih tua tiga tahun dari Jiro namun tingkahnya lebih sering terlihat seperti bocah daripada bocah yang sebenarnya.

Marvin berbeda darinya. Sebuah pukulan adalah apa yang sering pemuda itu dapatkan dirumah. Kalo kata Rafa, rasanya double kill. Sudah tak dianggap, dihajar pula.

Dan sejak mengetahui fakta itu, keduanya menjadi sahabat. Semakin hari semakin dekat sampai satu kesalahan datang menjadi sekat.

"Harusnya lo pukul gue dulu biar gue bisa tenang balik ke Canada."

"Itu yang gue mau. Teruslah ngerasa bersalah bang, sampe lo ngerasa bahwa hidup lo jauh lebih gelap dari sebelumnya. Pukulan buat lo masih berlaku, nanti, disaat lo balik gue tunggu di cafe biasa. Cafe kesayangan lo."

***

"Ji!!" pintu kaca yang semula hampir terbuka kembali tertutup bersamaan dengan tubuh Jiro yang berputar 90 derajat. Matanya melotot, mendapati Ningsih yang tengah berlari kearahnya sambil melambai sumringah.

"Lo ngapain disini?!!" bentakan adalah apa yang gadis itu dapatkan begitu dirinya sampai dihadapan Jiro. Mencoba abai, dia hanya tersenyum sambil menunjuk sebuah kata yang ada dipintu.

Open.

"Cafe nya masih buka dan siapa aja boleh kan dateng kesini?" Ningsih balik bertanya. Dia hendak melangkah masuk saat pergelangan tangan Jiro justru menahannya, memberikan tatapan tak suka lalu menghempasnya dengan kasar.

"Pulang!!"

"Ga."

"Gue bilang pulang Ay.." Jiro melirih. "Gue tau lo kesini cuma buat ngawasin gue."

Ningsih tergelak, geleng-geleng menatap Jiro. "Kepedean lo jadi orang."

Kembali melangkah masuk dan kali ini Jiro terlambat menghentikannya. Tubuh gadis itu sudah berjalan menuju mesin kasir dan memesan sesuatu kepada pegawai yang bekerja. Itu kesukaannya. Ice caramel latte dengan sirop yang banyak. Ditambah satu potong kue rasa coklat dan keju, kalau kebetulan habis, kue rasa redvelved juga boleh.

Jiro berdiri diambang pintu. Menatap Ningsih yang kini juga sedang menatapnya. Selesai membayar dan menerima pesanan, gadis itu melenggang, berhenti tepat didepan Jiro.

"Ayo." katanya. Membuat Jiro mengernyit saat lengan kecil Ningsih justru menarik tangan besarnya.

Sedang diam-diam disudut cafe, Marvin terdiam menyaksikan.

"Apaan sih lo narik-narik. Gue bisa jalan sendiri."

Ningsih hanya mengangguk-angguk.

Senyum manis kembali terpatri lalu tanpa dirinya sendiri sadari, tangannya tergerak untuk menggaruk pipi yang sama sekalj tidak gatal.

"Hm anu... Gue udah selesai observasi dan ga ada tanda-tanda orang aneh yang bakal ngelukain lo." Cengirannya melebar. "Gausah terharu gitu ah, iya sama-sama, gue tau gue emang majikan yang baik." dia bermonolog sendiri sampai Jiro dibuat geleng-geleng olehnya.

Seperkian detik diawal Jiro memang hampir merasa terharu. Hampir saja. Sebelum kalimat absurd yang Ningsih lontarkan selanjutnya berhasil membuat nya mendengus.

"Nenek lampir ga jelas." Jiro menoyornya. Membuat si empu meringis, sebelum kekehan meluncur dari bibir keduanya.

Dan setelahnya, Jiro justru lupa tentang Marvin. Dia berbalik mengambil mobil, berpikir bahwa mengantar Ningsih adalah hal yang lebih penting dari label cupu yang akan tersemat nantinya.

"Ay?"

Ningsih sudah berjalan menuju pagar rumahnya, kembali berbalik saat panggilan itu terdengar. Sebuah nama yang hanya Jiro seorang yang bisa mengucapnya. Ayu.

Gadis itu berdiri diam, menunggu Jiro melanjutkan ucapannya. Dan setelah lontaran yang dia tunggu-tunggu akhirnya terdengar, Ningsih tak bisa untuk menahan senyumnya. "Makasih." Dan semesta, tolong kuatkan Jiro, sebab dengan jahatnya, gadis itu hampir mengambil tempat di satu sudut yang sudah dia tutup rapat-rapat.

"Iya, sama-sama."

***

Match Point (Jisung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang