5 : We Paint Tomorrow

177 19 2
                                    

Keesokan harinya di pagi yang berembun, burung-burung gereja yang bertengger di pinggir atap balkon kamar​ membuat tidur Yerin terusik. Alam bawah sadarnya terus mendorongnya​ untuk mengakhiri mimpi yang masih dinikmati, maka Yerin mulai membuka​ matanya perlahan di saat niatnya​ sudah terkumpul dan tidurnya dirasa telah cukup.

Jendela-jendela besar kamarnya masih tertutup rapat, menghalangi masuknya sinar matahari. Dalam keremangan, Yerin menarik napas lega sebelum beranjak dari tempat tidur untuk meneguk segelas air putih. Usai membasahi tenggorokan yang kering setelah tidur lebih dari delapan jam, Yerin melirik jam dinding.

Ini bukan rutinitasnya. Dia tidak terbiasa, jadi jantungnya langsung berdetak kencang saat mengingat dirinya masih seorang pelajar secara resmi, yang menurutnya tidak lagi sekarang. Debaran itu berubah perlahan menjadi degupan kecil yang waspada terhadap kemungkinan orang yang ada di luar kamarnya.

Yerin segera melepaskan baju seragamnya, bergegas membersihkan tubuh yang gerah karena tidak mandi kemarin sore.

Dia terlalu lelah, kebanyakan menangis dan jiwanya masih terguncang. Beruntung sekali kedua orangtuanya pergi sejak tiga hari yang lalu karena urusan pekerjaan, termasuk kakak laki-lakinya yang tidak ingat rumah semenjak pulang dari negeri utara.

Dia hanya makan sedikit sepulang dari rumah Wonwoo, lalu memuntahkan makanannya. Badannya lemas lagi, Yerin tidak keluar kamar setelah itu. Langsung tidur, tidak peduli baju seragamnya basah dan bau keringat.

Selesai mandi dan berpakaian, Yerin membuka lemari pendingin. Mengambil sereal dan susu yang sudah disimpannya sejak lusa kemarin untuk sarapan. Lalu duduk di meja belajar. Makan sereal dingin sambil membaca buku pelajaran.

Satu halaman penuh materi baru biologi telah habis dibacanya. Yerin teringat bahwa sejak pulang dia belum menghubungi Wonwoo lagi. Dengan mulut penuh, dia mengambil ponsel dan mengirimkan pesan singkat.

Kau suka ponselnya?

Yerin menggantikan ponsel Wonwoo yang rusak karena diinjaknya waktu itu dengan yang baru. Kata Wonwoo, dia baru menerima paketnya kemarin pagi-pagi sekali padahal Yerin sudah memesannya sejak Jumat sore.

Lebih mahal daripada yang aku kira
Thx

Ini masih pagi, kemungkinan baru memasuki jam pelajaran pertama. Tapi Yerin tak menyangka Wonwoo akan membalasnya secepat ini. Enggan ambil pusing, dia menutup ponsel setelah membaca pesan terakhir. Menghabiskan serealnya cepat-cepat dan segelas susu dalam sekali tenggak kemudian.

Perutnya sudah cukup terisi. Yerin belajar mengikuti jam pelajaran sekolah sampai tiba saatnya makan siang. Ketika cahaya matahari yang terik mulai memasuki jendela-jendela kamarnya yang terbuka, Yerin berhenti menulis. Jemarinya mulai mengeluh kesakitan, pegal-pegal. Dia menulis catatan sambil membaca tanpa jeda, tak heran tenaganya lebih cepat terkuras daripada jika di sekolah.

Sekarang perutnya lapar lagi. Pikirnya makan siang dengan ikan poccalo sendirian pasti enak sekali, tetapi janinnya tak mau berkompromi. Yerin memuntahkan serealnya yang tadi pagi dan merasa perutnya benar-benar kosong.

"Oh, Tuhan," Yerin meringis. Dia duduk kembali di meja belajar untuk mendengar lagu dengan earphone guna membantunya melupakan rasa mual.

Lantunan lagu pop memenuhi pendengarnya hingga Yerin benar-benar tidak menyadari keberadaan seseorang yang saat ini berharga baginya.

---

"Anda siapa?"

Unit keamanan rumah megah milik keluarga Caldwell bertanya pada Wonwoo dengan mata tajam yang memandangi dari atas kepala hingga ujung kaki dengan tatapan menilai.

countless // wonwoo+yerinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang