6 : The Beginning

130 16 1
                                    

Hingga malam berganti dengan siang pun dadanya masih berdebar. Dan pikirannya jelas tidak tenang. Entah kenapa Wonwoo baru merasakan lelahnya saat ini, sesudah melewati peristiwa mengejutkan yang menimpanya secara beruntun. Peristiwa tanpa rencana, tanpa aba-aba. Bahkan bernapas saja terasa amat berat.

Wonwoo tahu ia berdosa. Semua yang terjadi padanya dan semua orang bermula dari kesalahan dirinya sendiri. Akibat dari perbuatan tanpa akalnya, ia telah mendorong seorang gadis murni yang dibutakan cinta ke dalam neraka dunia. Neraka yang dibuat Tuhan untuknya, dan dia malah dengan sengaja mengajak Yerin untuk menemaninya.

Wonwoo tahu ini tanggung jawabnya. Sungguh Yerin berharap banyak padanya setelah apa yang mereka lewatkan selama ini. Dari kontak mata terakhir yang mereka lakukan, Wonwoo jelas tahu sebanyak apa luka dalam hati Yerin.

Dia khawatir dan ketakutan. Mata itu mengatakan yang sebenarnya tanpa suara. Dirinyalah yang telah membuat kedua bola mata yang semula penuh binar dan cinta itu berubah menjadi tatapan keputusasaan. Ia hanya bisa memaksa seulas senyum untuk memberikan satu pengertian kepada Yerin bahwa dia benar-benar akan bertanggung jawab.

Wonwoo berkata tidak apa-apa. Tatapan menyedihkan itu langsung berubah tenang walau tak sepenuh memperlihatkan jiwanya damai. Yerin percaya pada Wonwoo bahwa mereka bisa melewati ini semua.

Tidak apa-apa...

Tidak apa-apa, ya?

Tidak apa-apa nya bagaimana?

Wonwoo berbohong. Ia juga sama takutnya dengan Yerin. Terlebih saat ibunya datang ke kamarnya dengan setelan tuksedo di tangan kanannya.

"Mereka mengantarkan ini untukmu." Raut bahagia Jieul Smith tidak bisa disembunyikan meski telah menyadari suasana hati yang buruk dari putranya. Ia menatap setelan itu dari atas hingga bawah dengan senyum yang ditahan. "Ayo bangun, biar ibu bantu pakai."

Wonwoo berdiri, merentangkan tangan.

"Oh. Kancingkan dulu lengan kemejamu, Won. Kau tidak menganggap ini hari ke sekolah, bukan?"

Wonwoo baru menyadari lengan kemejanya digulung hingga siku. Ia merapikannya dan menautkan kancing pada masing-masing ujung lengan kemeja putihnya. Ia merasa sudah siap, tapi ibunya masih menegurnya.

"Ini tidak perlu dikancingkan, Bu. Leherku sesak," kata Wonwoo yang melanjutkannya dalam hati, sama sesaknya dengan dadaku.

"Tidak boleh, Won." Jieul Smith menyerahkan setelan jas kepada Wonwoo untuk dipegang sementara dirinya menautkan kedua kancing teratas. "Kau harus rapi. Mereka bisa marah jika melihat kau acak-acakan."

Ketika selesai merapikan kemeja putranya dan mengikatkan dasi kemudian Jieul memakaikan jas hitam itu kepada Wonwoo dengan hati-hati.

"Oh, Smith, lihatlah putra bungsu kita." Sambil memandang sang putra, Jieul seolah-olah berbicara kepada mendiang suaminya melalui Wonwoo. Kedua matanya berkaca-kaca dan senyumnya tak lagi bisa ditahan. "Kau harus tahu, dia bukan anak kecil lagi. Dia telah menyusul kakaknya menikah dan dia tampan sekali. Lebih tampan darimu... oh, aku harap kau tidak marah karena aku selalu berlebihan dalam memuji putra-putra kita."

Wanita paruh baya itu meneteskan air mata, tapi senyumnya tidak pernah turun. Wonwoo menghela napas. Ia menahan tangan sang ibu yang tengah mengelus-elus bahunya yang terbalut oleh jas.

"Bu, maafkan aku." Akhirnya Wonwoo berani mengungkapkannya dan melawan rasa gengsinya. "Sungguh, aku benar-benar minta maaf."

Jieul menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak perlu, Sayang. Ibu percaya kau akan menjalaninya dengan baik," ia berkata sembari tangannya yang lain mengelus rambut anaknya. "Kau bisa melewatinya, Wonwoo. Jangan khawatir. Tidak apa-apa, sungguh."

countless // wonwoo+yerinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang