Bab 8

24 9 0
                                    

Kucing Ragdoll berbulu putih itu sedari tadi sibuk berlari kesana kemari mengejar bola yang dilemparkan Naya. Berbanding terbalik dengan kucingnya yang aktif bergerak, Naya justru hanya berbaring telungkup dengan malas di atas karpet bulu—depan sofa. Hanya tangannya yang bergerak melempar bola, sedangkan anggota tubuh yang lain hanya diam terkulai tidak berdaya. Sesekali dia mendesah napas panjang, terdengar lelah dan tidak bersemangat.

Oka yang baru saja keluar kamar dengan handuk di kepala hanya menatap Naya dengan sebelah alis terangkat. Dia berjalan pelan menuju dispenser, menuang air mineral ke dalam gelas tinggi dan membawanya ke depan televisi. Saat melewati Naya, tanpa sengaja kakinya menginjak rambut wanita itu yang memang terurai sembarangan. Naya sontak mengumpat, merasa rambutnya yang seperti ditarik dari kulit kepala.

"Oka, liat-liat, dong, kalau jalan!" omelnya masih tidak memindahkan tubuhnya sesenti pun.

"Lagian kamu telungkup gitu di tengah jalan," sanggah Oka tidak mau disalahkan.

"Ini bukan jalan, Oksana. 'Tuh, itu baru jalan!" Naya menunjuk sisi lantai yang lain yang hanya dibalas Oka dengan memutar mata malas. Wanita itu mengangkat tangan di depan dada.

"Maaf, oke?"

Meow ...

Naya dan Oka kompak menoleh pada kucing yang mengeong itu. "Apa sih, Kay? Mau ikutan injak rambutku? Iya?" sungut Naya pada kucing menggemaskan itu.

"Laper kali, Nay. Belum kamu kasih makan, kan?"

"Nggak tau, lupa."

"Ish, kamu, tuh!" Oka beranjak dari sofa, berjalan pelan menuju tempat makanan Kaya. Mengetahui majikannya mau memberinya makan, kucing gemuk itu pun berlari mendekat. Dia mendusel-dusel manja, mengitari kaki wanita itu, membuat Oka terkekeh pelan. "Nanti kubelikan Automatic Pet Feeder, deh. Biar nggak lupa kasih kamu makan."

"Dion masih belum baca DM-ku," ujar Naya tiba-tiba membuat Oka menoleh.

"Dion siapa?"

"Dion yang itu, Ka. Masa kamu lupa? Yang bayarin parfum pecah."

"Oh, anak band itu. Jadi kamu dari tadi uring-uringan karena pria itu?" Naya tidak menjawab, dan Oka bisa simpulkan kalau jawabannya iya. "Jadi dia sejak tadi sangat sensitif dan sumbu pendek karena masalah parfum itu rupanya," batin Oka dengan helaan napas. "Lagian, Nay, dia udah ikhlas, kan? Terus apa masalahnya?"

"Menurutmu, aku bisa menerima bantuannya yang cuma-cuma begitu? Dia orang asing, Ka. Dia bukan siapa-siapanya aku. Nggak seharusnya aku menerimanya dengan mudah."

Oka mengerti, sangat mengerti itu. Tapi melihat kondisi keuangan Naya yang sedang banyak tanggungan, menerima bantuan seperti itu menurutnya sangat wajar, bukan masalah besar dan sepatutnya disyukuri buat malah dirisaukan begini.

"Terus, kamu mau gimana? 'Toh, harga parfumnya juga tiga juta. Kamu mau relain tabunganmu untuk parfum yang udah pecah itu?"

"Coba tadi kuambil sisanya, ya? Aku lap pakai sapu tangan, supaya pas sampai rumah bisa aku peras ke dalam botol parfum bekas yang kubeli di mini market." Ide nyeleneh Naya langsung dibalas delikan sebal Oka. "Tapi aku masih pengin seenggaknya tanggung jawab soal itu, Ka."

"Mau pinjam uangku?" tawar Oka kembali duduk di sofa, mengangkat kedua kaki dan tangannya, dia bergerak menekan tombol power pada televisi.

"Nggak. Aku bisa pakai uang tabunganku. Tapi—" Naya menggantungkan kalimatnya, membuat Oka mengalihkan pandangannya dari televisi ke sahabatnya yang tengah berpikir itu.

"Tapi apa?"

"Tapi, adikku harus bayar uang semester," desah Naya penuh kesedihan. Dia merangkak ke atas sofa dan berbaring di sana. Menempatkan kepalanya di atas paha Oka tanpa izin. "Menurutmu, barang apa yang bisa kujual?"

Imperfect LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang