Bab 10

16 12 0
                                    

Dion benar-benar datang. Dengan kaos v-neck lengan pendek dan celana selutut, serta topi yang menutupi kepalanya, dia terlihat sederhana tapi tetap tampan.

"H-hai!" ujar Naya begitu sampai di meja pria itu. Dion seketika batuk-batuk begitu mencium aroma parfum yang terlalu semerbak itu. Rasanya seperti Naya membawa satu karung besar bunga sakura. Harum, tentu. Sebenarnya aromanya harum, hanya saja ini terlalu kebanyakan —berlebihan.

"Kamu baik-baik aja?" Dion mengangguk berusaha meredakan batuknya. "Parfumku aromanya nggak enak, ya?" Dion menggeleng cepat.

"Enak kok, harum. Cuma ... kayaknya kamu memakainya terlalu banyak, ya?" Naya menggaruk lehernya, antara malu dan malu sekali.

Mulai terbiasa dengan wangi parfum Naya, Dion akhirnya bisa berhenti terbatuk-batuk. Dia tersenyum, mengulurkan tangannya mempersilahkan duduk.

"Udah lama?" tanya Naya lagi.

"Baru sepuluh menitan." Naya telah membuat pria itu menunggu. Wanita itu terlihat merasa bersalah sekali karena hal itu.

"Maaf, ya? Aku—"

"Nggak masalah, Nay. Lagipula aku senang menunggu di sini, kok. Banyak lalu lalang kendaraan yang bisa kunikmati pemandangannya."

"Apa enaknya liat kendaraan lalu-lalang? Bikin pusing yang ada," batin Naya menentang ucapan Dion.

"Mau pesan sekarang?"

"Kamu belum pesan?"

Dion menggeleng. "Aku cuma pesan air jeruk ini aja. Aku mau nunggu kamu buat pesan makanannya."

Naya mengganggu kaku. Diraihnya satu lembar kertas menu yang tersedia di sana.

Rupanya tidak hanya menjual nasi goreng kambing aja. Tapi ada sate kambing, tongseng, krengsengan, nasi kebuli dan gulai.

"Kamu mau apa, Yon?"

"Nasi goreng kambing, tentunya. Apa lagi memangnya?"

"Nggak mau pesan yang lain juga?"

Dion ikut menyentuh lembaran menu itu. "Eum, krengsengan? Aku belum pernah mencobanya. Apa itu?"

"Daging kambing yang dimasak dengan kecap banyak-banyak. Semacam ayam kecap tapi ini kambing."

"Aku nggak begitu suka olahan daging yang dibuat manis. Kalau tongseng?"

"Kamu belum pernah mencobanya juga?"

"Jangankan tongseng, gulai aja aku belum pernah. Olahan kambing yang pernah aku makan itu cuma kambing guling, nasi goreng kambing, dan sate. Udah, nggak ada lagi. Kalau santan-santan begitu aku nggak begitu suka. Terlalu berminyak di kerongkongan soalnya," jelasnya panjang lebar.

"Tongseng itu daging kambing dengan kuah santan dari gulai. Bedanya, ada tambahan sayuran seperti kubis dan tomat yang dimasak sebentar pada kuah itu."

"Kubis dan tomat? Sayuran yang menyegarkan dipadukan dengan santan yang berminyak itu?" Dion melotot tidak percaya.

"Memangnya enak?"

"Enak, mau coba?"

Dion menggeleng. "Takut nanti ternyata lidahku nggak cocok dan malah nggak habis kumakan."

"Baiklah. Kalau begitu kamu nasi goreng kambing aja dan minumnya ... es jeruk?"

"Tulisanmu parah sekali, Nay," ledek pria itu berkomentar.

Naya mendecak. "Seolah tulisanmu indah aja, Yon." Dia melanjutkan tulisannya mencatat menu yang dia inginkan tanpa menanggapi Dion. Setelah menyerahkan catatan pesanannya pada bapak-bapak tukang masaknya, Naya kembali duduk.

Imperfect LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang