Bab 6

17 9 0
                                    

Jakarta dan kemacetan memang seperti dua sejoli yang tidak terpisahkan. Seperti halnya api dan panas, seperti halnya es dan dingin. tidak bisa dipisahkan seperti sebuah takdir.

Naya bahkan sudah seperti sayuran yang layu karena sejak tadi terus mengeluh dan mengumpat pada kendaraan yang menyerobot kendaraan yang mereka tumpangi.

Naya tidak habis pikir. Padahal ini macet luar biasa, bisa-bisanya masih ada yang main serobot. Tapi yang lebih mengherankan lagi adalah kenyataan bahwa yang menyetir Oka, tapi yang banyak mengomel dan mengumpat adalah Naya.

Wanita dengan pakaian serba gelap itu memang kesabarannya jauh lebih tipis dari tisu toilet, dan Oka sudah hafal akan hal itu.

Mereka akhirnya sampai di salah satu Mall di kawasan Jakarta Selatan setelah menempuh perjalanan selama hampir empat puluh lima menit. Setelah perjuangan panjang melintasi jalanan uji kesabaran, mereka akhirnya bisa bernapas lega dan merasakan sejuknya mall ini. Naya bahkan kembali segar seperti tanaman baru disiram begitu melihat deretan food court di lantai satu itu. Melihatnya, Oka hanya bisa geleng-geleng kepala. Sudah biasa melihat wanita itu berubah mood tiba-tiba karena makanan.

"Ka, aku mau beli es krim. Kamu mau nggak?" Oka mengangguk ringan.

"Rasa apa?"

"Apa aja." Naya mengangguk mengerti, menghampiri stand es krim dan memesan dua cone.

"Satu rasa coklat, satunya rasa apa aja, ya, Mas." Kalimat Naya jelas mengundang senyum dari mas-mas penjual es krim. Oka di belakangnya memutar mata malas.

"Vanila aja, Mas," ralat wanita itu dengan lengan bersidekap.

Mall ini ramai seperti biasa. Apa lagi ini weekend, hari di mana orang-orang keluar untuk melepas penat setelah enam hari seminggu bekerja mencari rupiah. Naya pun begitu, berniat melepas penat dengan melihat keramaian dan bertemu orang-orang.

Walau sempat ada drama bujukan-bujukan tentang traktiran, sebenarnya Naya akan dengan senang hati ikut karena dirinya juga butuh hiburan sederhana semacam ini.

Naya menerima dua cone es krim dengan warna berbeda, memberikan satu pada Oka dan satunya untuk dirinya sendiri. "Aku traktir," ujar Naya cekikikan sedangkan Oka hanya tersenyum tipis.

Mereka berjalan beriringan bergabung dengan keramaian lantai satu yang tidak terelakkan. Rupanya bukan hanya karena ini weekend, mall jadi luar biasa ramai. Tapi di depan lobby sana, ada panggung yang menampilkan live music akustik oleh tiga orang pria. Satu orang pada bagian vokal, satunya bermain gitar dan sisanya bermain cajon.

Naya yang jarang-jarang melihat live music pun mengajak Oka untuk mendekat. Hari ini memang Oka lebih banyak bermurah hati. Sekalipun Naya banyak mau, Oka menurut saja tanpa mendebat.

"Ramai banget," keluh Naya merapat pada orang-orang yang ingin melihat penampilan itu lebih dekat. "Ka, slow hands!" Naya tiba-tiba berteriak histeris begitu mendengar intro lagu kesukaannya dimainkan. Oka hanya mengangguk, sesekali menjilat es krimnya.

"Bagus suaranya," komentar wanita itu membuat Naya mengangguk setuju.

"Gila. Gila banget! Tumben ada yang bawain lagu Niall-nya aku."

"Niall-nya aku," cibir Oka. Naya hanya terkikik geli.

Mereka sangat menikmati penampilan dari ketiga pria di atas panggung. "Ka, gila! Suaranya enak banget. Sebelas dua belas sama Niall," decaknya kagum sedangkan Oka hanya menatap datar gadis di sebelahnya yang memang terkadang sedikit lebay, ralat—sangat lebay.

Imperfect LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang