Bab 4

23 9 0
                                    

Setelah lagu Niall Horan selesai dalam dua kali putaran, akhirnya Oka bertanya.

"Kamu kenapa nangis, Nay? Datang bulan?"

Naya menggelengkan kepala. Menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa yang nyaman, dia menoleh, mengamati wajah sahabatnya itu dari samping. "Kamu sendiri, kenapa? Matamu sampai hitam semua begitu. Mirip Suzanna, tau?" Wanita itu bergidik ngeri dan Oka praktis mendengkus kemudian ikut menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.

Oka menatap langit-langit ruangan yang berwarna putih polos. Beberapa bagian sudah terkelupa cat-nya "Ale mau ke New Zealand," lirihnya. Kalimatnya sukses mengundang tanya sahabatnya itu.

"Terus kenapa?"

"Dia nggak jadi melamarku akhir tahun ini. Kayaknya kami putus."

"Hanya perkara pergi ke New Zealand?"

"Dia ke sana untuk melanjutkan sekolah pilotnya, Nay. Satu tahun." Naya menatap Oka prihatin. Menegakkan duduknya, dia meraih tangan Oka sehingga sahabatnya itu duduk tegak.

"New Zealand emangnya di mana?"

"Naya!" geram Oka.

"Aku anak IPA, mana tau?" Naya mengangkat bahunya.

"Aku juga anak IPA, tapi aku tau di mana New Zealand! Kita, kan, belajar peta dunia dari sekolah dasar!"

"Kok jadi marah, sih? Ayo lanjut ceritanya."

"Malas!" Oka merajuk. Dia kembali membanting punggungnya pada sandaran sofa.
Melihat itu, Naya pun meraih tangannya, menggoyang-goyangkannya pelan, berusaha membujuk wanita itu.

"Oka yang cantiknya mengalahkan Kendall Jenner, ayo dong lanjut ceritanya. Ini Nayaka yang cantiknya nggak kalah sama Hailee Steinfield penasaran setengah mati, lho." Dikeluarkannya raut memelas membuat Oka menghela napas.

Berkat bujukan hiperbola super menggelikan dari Naya, membuat Oka tergelak, akhirnya wanita itu melanjutkan ceritanya yang sempat terhenti.

"Padahal tadi aku udah senang diajak ke restoran berbintang. Kupikir, awalnya Ale bakal mengajakku makan pecel lele atau seafood kaki lima." Oka menarik napas dalam-dalam, membiarkan oksigen memenuhi paru-parunya hingga sesak. "Tapi alih-alih mengajak makan di restoran mewah, ternyata dia bawa kabar yang nggak menyenangkan," lirih Oka.

"Dan kalian putus jadinya?" Oka mengedikkan bahu. Tidak ada yang mengucapkan kata putus. Dia dan Ale masih baik-baik saja sampai selesai makan dan diantar kembali ke apartemen tadi.

"Mau sampai kapan kalian kayak begini, Ka?" Naya menghela napas kasar. "Aku lelah melihatmu menangis terus begini."

"Aku juga lelah."

"Putus aja kalo gitu."

"Nay!" Oka menoleh. Menatap mata sahabatnya dengan kedua matanya yang sudah kembali memanas dan siap untuk meneteskan air mata. "Nggak semudah itu. Usiaku udah dua puluh tujuh tahun. Kalau aku putus, cari pria di mana lagi?"

Naya terdiam. Sejenak dia berpikir. Benar juga apa yang dikatakan Oka. Karena hingga saat ini dirinya masih menjadi jomlo karena sulitnya mencari sosok pria yang baik di jaman sekarang.

"Akan lebih banyak waktu yang terbuang untuk pendekatan dari awal, saling memahami satu sama lain, dan masih banyak lagi. Sekarang aku bertahan sambil berusaha untuk memperbaiki hubungan kami, Nay. Supaya sehat dan jelas," tutur Oka panjang lebar yang mana membuat Naya tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Kamu dengar aku nggak, sih, Nay?" Oka mendorong bahu Naya dengan jari telunjuknya.

Naya tersadar dan kembali ke dunianya. "I-iya, aku dengar, kok." Wanita itu bangkit, berjalan ke depan kulkas dan membukanya. Diambilnya dua kotak susu rasa cokelat, kemudian diberikannya satu pada Oka yang tengah duduk di kursi makan. "Bertahan tanpa kepastian butuh tenaga, Ka."

Imperfect LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang