Blok 2. Selamat, Anda Lulus!

13 6 3
                                    

"Maaf anda Gagal terhubung ke laman ini."

Ternyata aku gagal tersambung ke websitenya. Karena banyak orang yang mengakses website ini dalam waktu bersamaan, kemungkinan server website ini sedang down.

Dengan rasa tidak sabar, aku pun mengklik mouse ku berkali-kali untuk me-refresh website ini. Namun, tetap saja tidak bisa mengakses. Teh Ratni, kakak ku, si anak nomor 3, dan ibu dari Eneng ikut bergabung menyaksikan detik-detik yang mendebarkan ini. Tak lama kemudian, mamah pun bergabung bersama kami, meninggalkan dapur untuk melihat 'masa depanku ini'.

Akhirnya, karena sudah terlalu lama me-refresh website dan hasilnya nihil, aku pun akhirnya menyerah, dan memutuskan akan mengeceknya lagi di lain waktu, saat server tidak penuh. Para penonton pun kecewa.

"Om lagi main apa sih om, eneng juda mau coba dong." pinta keponakan lucuku ini.

"Yuk kita main slime lagi aja eneng, om udahan kok main laptopnya."

Teh Ratni pun geram melihat website yang tidak kunjung menampilkan apa yang ingin kami lihat ini. Teh Ratni pun menyarankan untuk mengganti wifi yang ku gunakan dan memberikan password tethering dari ponselnya.

"Udah Ril, pake mobile data nya teteh aja. Siapa tau wifinya emang lagi lemot."

Akupun mencoba untuk mengakses website tersebut, namun kali ini menggunakan bantuan tethering dari teh Ratni. Dan tiba-tiba, munculah sebuah tampilan. Pandangan mataku langsung tertuju pada barcode besar di laman ini.

 Pandangan mataku langsung tertuju pada barcode besar di laman ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Selamat Anda dinyatakan lolos SBMPTN 20XX di :

599XXX- PENDIDIKAN DOKTER, UNIVERSITAS J."

Seisi ruangan pun akhirnya merasa lega. Karena warna merah dan tulisan "Jangan menyerah tetap semangat" bukanlah yang kami saksikan waktu itu. Akhirnya rasa penasaran kami terjawab sudah.

"Alhamdulillah, pak dokter."

Papah menepuk pundak ku dengan bangga, mamah langsung memeluku.

"Bunda, itu om Alil lagi kenapa?" tanya Eneng dengan rasa penih penasaran

Teh Ratni pun menjawab.
"Tidak Eneng, itu om Aril keterima di sekolah kedokteran. Om Aril nanti jadi dokter."

"Eneng juda mau jadi doktel, kaya om Alil, bunda."

Pada saat itu, otak ku sangat kewalahan mengolah informasi yang masuk begitu saja. Aku sangat bersyukur karena aku diterima di kedokteran. Tapi.. Bukan Universitas P ya? Tidak apa-apa deh. Universitas J juga kan sama bagusnya.

Setidak bukan tampilan merah dengan tulisan Maaf anda Gagal, tetap semangat dan jangan putus asa. Ya, aku sangat bersyukur. Universitas J juga sama kerenya.

"Om, nanti kalau udah pulang sekolah doktel, kita main doktel-doktelan ya."

Jleb, pada saat itulah, aku pertama kali menyadari, kalau sekali lagi, ini bukan Uiversitas P. Universitas P kan dekat dari rumah. 45 menit juga nyampe! Ini Universitas J ril, ya Universitas J. Universitas J itu letaknya sangat-sangat-sangat jauh. Ratusan Kilometer. Menempuh jarak 1/4 hari lebih.

Aku pun selanjutnya menyadari, kalau ternyata ini adalah pertama kalinya dalam hidupku, aku akan tinggal sangat jauh dari rumah dan berpisah dengan keluargaku di kota ini.

Biasanya sepulang sekolah, aku selalu menceritakan keseharianku di sekolah pada papah. Papah selalu mendengarkanku, memberikan saran, dan menenangkanku saat ada masalah. Lantas, nanti aku harus cerita sama siapa?

Biasanya, mamah selalu memasakanku masakan rumahan yang dimasak dengan penuh kasih sayang. Tak jarang mamah juga mengomeli kelakuanku yang seperti bocah ini. Lantas, nanti siapa yang mengomeliku?

Biasanya, teh Ratni mengajaku belanja bareng. Tak jarang kami juga sering memburu promo dan diskon yang ada di supermarket. Teh Ratni juga sering memasakanku baso aci dengan komposisi bumbu yang pas. Teh Ratni juga jago dalam masalah perhitungan uang dan sering mengajariku bahasa inggris. Lantas, nanti aku melakukan itu semua sama siapa?

Biasanya, Teh Asti selalu mengajaku berwisata kuliner di kota ini. Setiap ada kafe atau restoran yang baru buka, Semua wisata kuliner di kota ini sudah kami taklukan. Teh Asti juga sering mengajariku masakan-masakan eropa dan barat. Sehingga, saat ini aku sudah mahir memasak berbagai macam pasta, atau olahan ayam dan sebagainya.
Lantas, nanti aku wisata kuliner sama siapa?

Biasanya, saat kang Aji sedang libur dan di rumah. Kami selalu main game bersama. Saat kami bersama, tidak ada game yang tidak bisa kami taklukan. Saat aku masih SMA, aku sering di ajari pelajaran matematika dan Fisika oleh Kang Aji. Berkatnya, aku bisa menjadi siswa paling jago hitung-hitungan, si nomor 1 Fisika di kelas. Lantas, nanti aku main game sama siapa? nanti siapa yang mengajariku Fisika?

Biasanya, saat Kang Adam, si anak sulung pulang ke rumah. Kami selalu pergi berpetualang, entah itu ke gunung, atau ke pantai. Aku juga di ajari memancing oleh kang Adam. Di keluargaku, Kang Adam sudah berperan sebagai komisi disiplin, dengan mengajari kedisiplinan pada adik-adiknya. Kang Adam pulalah yang mengajariku menyetir mobil dan motor. Kang Adam berhasil menjadikan kang Aji dan aku sebagai laki-laki. Lantas, tanpa Kang Adam, bisakah aku tetap laki-laki?

Biasanya kami sekeluarga sering makan-makan di tempat makan keluarga, dengan saung, kolam ikan, dan suasana pedesaan. Lantas, nanti aku makan-makan sama siapa dong.

"Nanti Om Aril mau sekolah Eneng. Nanti Eneng mainya sama bunda aja ya. Tapi, om Aril bakal sering pulang kok. Ya, gak Om?." Ucap Teh Ratni, pada anaknya, si Eneng.

Jleb, nanti saat aku pergi, nanti si Eneng main sama siapa? Sejak lahir, Eneng sudah besar di rumah ini. Meskipun Teh Ratni sudah punya rumah sendiri, tapi Si Eneng selalu ingin tinggal di rumah papah ini. Bagiku, si Eneng sudah seperti adik sendiri. Dan tiba-tiba, aku pergi menghilang, meninggalkan balita lucu satu ini gitu?

"Enda au, eneng juda penen main sama om Alil, sama bunda juda. Nanti kalau bunda kelja eneng main ma sapa don?

(Engga mau, eneng juga pengen main sama om Aril dan bunda juga. Nanti kalau bunda kerja, eneng main sama siapa dong?)"

Ya, satu-satunya manusia yang dapat menunjukan ekspresinya secara langsung adalah Si Eneng, balita yang masih polos.

Lalu aku pun memandangi wajah seisi ruangan itu satu persatu. Papah, mamah, teh Ratni. Semuanya memang mampu menyembunyikan perasaanya. Tapi, karena ikatan kami sudah sangat kuat, aku menyadari betul bahwa di wajahnya terlihat setitik perasaan tidak rela dan kecewa atas hasil yang keluar di layar laptopku.

"Huaaa, eneng au itut om Alil. Eh tapi eneng juda mau sama bunda, babah, sama mamah (neneknya) juda."

Seketika, tangisan si Eneng itu menyadarkanku. Bahwa balita lucu ini telah mewakilkan perasaan kami yang sulit diungkapkan. para orang dewasa yang saling tidak rela berpisah.

Mendadak, hatiku terasa hampa.

Haruskah aku mengambil kedokteran di Universitas J ini? atau haruskah aku melepasnya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Si Bocah DokterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang