Jake tersadar dari tidurnya. Beberapa hari ini, lelaki itu akan diberi makan dua kali demi menyambung kebutuhan hidupnya. Setelahnya Rah akan memberi obat tidur didalam minuman dan Jake akan tertidur. Semua ini dilakukan untuk menjaga Jake dalam pengawasan- andai lelaki tersebut nekat berbuat hal tak terduga.
Dandelion menghampiri Jake diruangan lain dalam menara. Gadis itu jongkok- mensejajarkan diri.
Dingin. Hanya itu yang terpancar dari mata Dandelion. Entah apa yang tengah ia pikirkan. Sedangkan pria yang baru siuman dari mimpi panjangnya, mengerjap perlahan menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina.
Sadar akan siapa yang ada didepannya, Jake membuang muka alih-alih menatap balik atau membuka suara.
"Pangeran Glenn."
Jake tidak menyahut sapaan Dandelion yang memanggil nama aslinya. Sedikitpun ia tidak bicara sama sekali ketika seseorang menanyainya. Sebenarnya ia cukup penasaran bagaimana identitasnya bisa diketahui, namun rasa keingintahuannya dikubur dalam-dalam saat ia ditawan seperti sekarang.
"Apa kau tidak merasa bersalah pada Pangeran Erdhal? Dia sungguh menganggapmu orang terdekatnya. Tapi kau malah mengkhianatinya." Sampai detik ini, Erdhal tidak diberitahu tentang Jake yang sudah membunuh Ibunya- Janina. Kata Dandelion, lebih baik dirahasiakan dari Erdhal untuk sementara. Karena Dandelion sangat hapal dengan Erdhal yang emosinya susah dikendalikan. Apa jadinya kalau anak yang baru berusia 14 tahun itu mendapatkan fakta tentang Jake yang ternyata adalah pelaku pembunuhan Ibunya?
Erdhal mendekat pada Jake. Menghembus napas perlahan, ia memandang Jake cukup lama. "Aku senang ternyata kita adalah kakak-adik." Jake terlihat masih enggan memberi atensinya baik pada Dandelion maupun Erdhal.
"Hanya saja aku tidak mengerti kenapa kau membela Drew musuh dari Yang Mulia." Timpal Erdhal. Penampilan Jake ditelisik penuh keseriusan. Rambut perak dan netra hijau milik Jake selalu diperhatikan Erdhal saat lelaki itu tengah tertidur ataupun terbangun. Erdhal senang karena Jake bukan sekadar orang asing yang telah mengisi kekosongan hari-harinya selama di Karstan. Dia bahagia karena Jake benaran Kakaknya. Walau cuma Kakak tiri.
Tangan kiri tanpa jari manis tersebut menyapu anak rambut yang nenutupi sebagian muka Jake. Erdhal tersenyum tipis. "Kau sangat tampan. Mirip dengan Ayah."
Dandelion melihat ekspresi samar-samar dari Jake yang seolah mendecih ketika Erdhal menyebut kalimat terakhirnya yang berkaitan dengan 'Ayah'. Kesimpulan yang bisa diambil Dandelion yaitu Jake sepertinya tidak suka pada Athes. Namun ia tidak mengerti apa alasan dibaliknya.
"Apa aku boleh memanggilmu Kakak?" Pertanyaan Erdhal sukses membuat Jake menolehkan kepala. Pertama kalinya pria tersebut menaruh atensi pada lawan bicaranya setelah beberapa hari.
"Panggilan itu tidak cocok untuk orang yang ingin membunuhmu." Balasan Jake membuat orang-orang disana cukup terkejut. Terutama Erdhal yang sudah melebarkan mata duluan karena merasa Jake tidak menerima dirinya sebagai adik.
Tok Tok Tok
"Putri Dandelion, kita harus segera kembali ke istana." Ucap Dalta dari luar pintu. Ya, Dandelion meminta pada Dalta untuk membantunya pergi ke menara dengan alasan ingin menenangkan pikiran. Tampaknya Dalta percaya penuh pada Dandelion hingga tidak mencurigai gadis itu sama sekali.
"Iya aku akan segera keluar! Tunggu aku dibawah saja!" Sahut Dandelion lumayan nyaring dari dalam. Tepat Dandelion memberi titah pada Dalta, rupanya Jake berusaha teriak, hampir terdengar jika Rah tidak bertindak cepat tadi.
"Aku akan langsung kembali ke istana, bantu aku jaga Erdhal baik-baik." Bisik Dandelion dijawab anggukan 'iya' dari Rah. Kemudian Dandelion berdiri dan melihat Jake sebentar yang sudah dibius beberapa detik lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION (TAMAT) ✓
FantasyPutri Dandelion terdampar pada sebuah Negri yang bertahun-tahun mengisolasi diri dari dunia luar. Informasi beredar bahwa Raja yang memimpin disana sangatlah sadis dan tidak kenal ampun kepada siapapun. Dan sialnya, Putri Dandelion harus terpaksa me...