Prolog

66 24 69
                                    

Kak, ini dini hari, sudah pukul tiga pagi. Namun entah mengapa si jemari tidak ingin berhenti, padahal sudah selarut ini. Iya, surat cinta lagi ... jadi maaf jika rangkaian aksaraku tidak rapi.

Biar aku tebak. Kamu sedang mendengkur di tilammu dengan nyenyak. Pantulan tidurmu jelas saja remang, sebab bibir manismu berkali-kali bilang bahwa mimpi tidak selalu datang. Namun jika ada peluang, boleh tidak ya aku bertandang? Sekedar mewarnai remang yang hilang.

Ingin sekali aku memburai sunyi supaya kamu tidak merasa sepi. Kalau bisa, sudah kugapaikan cakrawala petang beserta isinya untukmu seorang. Supaya rembulan bisa temanimu dalam kegelapan. Supaya gemintang bisa menjadi penerang kala kamu sedih pun juga senang. Supaya semesta mau berkoloni denganku, sampaikan seluruh renjana yang aku punya untukmu.

Kak, sepertinya harus cukup sampai di sini, nanti aku sambung lagi. Mungkin lusa atau lain hari? Jangan bosan dengan tulisanku ini, sebab bibirku tidak pandai meracau seperti burung kenari. Jadi, tunggu saja nanti, akan kubuatkan kamu puisi.

Untuk lelakiku yang sedang menghalau kerasnya semesta.

***

Rupanya petang hingga dini hari tak kunjung membawa kantuk. Tetap saja netra masih terbuka, padahal jam di sudut ruang sudah mengarah pada pukul tiga. Bukannya tidur, pikiran justru semakin ngelantur.

Satu demi satu butir bening memaksa luruh dari pelupuk netra. Kiranya, apa yang salah dengan dirinya. Lelah, lelah sekali rasanya. Alih-alih menyambangi tilam dan pergi mencipta delusi mimpi, ia malah merakit kata untuk lelakinya, dengan maksud mengusir monolog gila yang menyeruak dalam kepala. Namun tak dinyana, usahanya sia-sia belaka. Niatnya menampik sembilu, justru yang tercipta malah benalu.

Rasanya belum lama saat Jani datang ke Jakarta untuk menutup luka. Melewati malam-malam sunyi sembari menangis sendiri, menangisi sosok yang bahkan tak pedulikan ia lagi. Bergelut dengan parade patah asa hingga rasanya ia hampir tidak berdaya. Bergumul dengan semua luka yang ia punya. Hingga hidupnya kembali membentuk pancarona ketika bersua Arjuna, walaupun tak dapat disangkal bahwa masih ada abu yang mengganjal. Walaupun tak dapat dipendam bahwa masih ada takut yang bersemayam.

"Juna, lukanya datang lagi. Aku takut sendirian, aku takut sama dunia," rintih Jani dalam sepi.

Sejujurnya, ingin sekali ia memekik, karena rasanya yang begitu mencabik. Tapi yang ada hanya bungkam, layaknya langit malam yang mencekam.

Malam ini, dalam petang yang remang, air mata si nona kembali menitik membasahi carik-carik kertas yang sebagian sudah ia pulas dengan prosa untuk lelakinya. Dan benar adanya, sebab mayapada lagi-lagi memberinya luka.

-----

Catatan pena:

Kisah ini aku tulis khusus untuk salah satu teruna Batavia yang hobinya makan nasi padang dan indomie rendang. Juga untuk kalian, yang ingin terbuai dalam asmaraloka milik Senjani dan Arjuna.

Selamat bersua dengan aksara milikku! Selamat bergabung dengan serenade rasa yang aku tempa!

Salam hangat, Klausa.

Selarap RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang