"Kalau saja bisa, ingin kutuliskan roman berangsur dalam narasi senja untuk teruna yang kutemui di tengah-tengah ibu kota, sebagai tanda bahwa kita pernah bersua."
-Aruna Senjani-
-----
Agaknya nabastala masih bermuram durja, dirupa kelabu tak kemilau dan tanpa gurat jingga khas sandyakala senja, hanya ada sapa mega gelita sebab hujan baru saja reda. Begitu jua Jakarta yang masih terlena dengan kepadatannya, tak sedikitpun adimarga lengang karenanya. Banyak jiwa yang masih lalu-lalang memadati ibu kota, tidak luput dengan bahana angkutan kota yang menusuk telinga.
Serupa dengan Jani, terlena di antara timbunan buku dalam gerai pustaka yang berjarak 500 meter dari sekolahnya, setelah selesai berkutat dengan tugas kelompok yang diberi gurunya. Tentu masih diselimuti busana yang sama, putih abu-abu khas siswi SMA sebab tidak sempat kembali ke rumah untuk sekadar menggantinya. Setelah dirasa menemukan buku yang dicari, ia melantaskan diri membayarnya ke kasir dan keluar dari gerai tersebut demi segera pulang dan mengistirahatkan raga.
Kakinya menapaki trotoar dengan langkah-langkah kecil menuju halte di depan sekolah. Dibanding menggunakan ojek online, ia lebih memilih alternatif lain untuk pulang supaya hemat biaya.
Lampu-lampu jalanan mulai menyala menyorot sekitarnya, pendarnya sinari setiap langkah yang Jani tapaki seorang diri, dikawani dengan aroma hujan beradu dengan tanah repih yang masih sangat kental memenuhi jumantara. Sesekali kakinya mencipta percikan sebab tidak sengaja memijak genangan air. Juga dengan dinginnya hawa, membuat Jani sedikit menggigil dan tak urung harus mengusap raga.
Namun tidak dapat disangkal, bahwa Jakarta begitu anggun kala senja tiba. Layaknya pirsa sisi lain dari padatnya ibu kota. Selain lalu-lalang angkutan yang layaknya parade senja, jua tidak lepas dari gedung-gedung pencakar langit yang hiperbolanya hampir menembus sang mega. Seperti menilik sebuah film dengan diri kita sendiri sebagai pemerannya hingga dapat membuat siapa saja terpesona.
"Pulangnya kok sendirian aja, Cantik? Mau Abang anterin sampai rumah nggak?"
Tiba-tiba di hadapan Jani sudah ada sekomplotan pemuda yang mencegah langkahnya. Jika dikira, jumlahnya sekitar empat atau lima. Jelas saja langkah Jani terhenti di sana. Raganya yang semula menggigil kedinginan, kini hanya bisa diam mematung karena ketakutan. Benar, Jani dibuatnya merinding hingga yang bisa dia lakukan hanya bergeming.
"Mampir dulu ke sini, Neng," sambung lelaki lain yang mengenakan kaos merah.
"Iya, mending temenin kita-kita dulu, Cantik."
"Kita main-main dulu lah sebentar."
Ingin rasanya Jani tampar satu-persatu mulut-mulut mereka detik itu juga, namun apa daya Jani tidak bisa, lebih tepatnya karena terlalu takut untuk melakukannya. Hingga sebuah tangan yang entah milik siapa memberikan tepukan di pundaknya, seperti menjadi kausa supaya Jani tidak hanya bungkam dan harus angkat wicara. Alih-alih segera melakukannya, justru ia tolehkan kepala hingga didapatinya sosok teruna dengan raut datar dalam durja.
Begitu asing hingga Jani pikir ia juga kawanan si pembuat onar. Namun nyatanya, itu semua tak benar.
"Yuk balik! Keburu hujan lagi, nanti basah semua," ucap sang teruna lantang. "Maaf ya, Bang, ini temen saya udah dicariin bapaknya soalnya udah sore. Takut nanti beliau marah-marah, soalnya bapaknya polisi galak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Selarap Rasa
Novela JuvenilJogja telah menyisakan banyak luka, hingga Jani datang pada Batavia. Memilih kembali dan memulai lembaran baru sebuah cerita. Hingga akhirnya, jagat butala menakdirkannya bersua dengan Juna, teruna dengan lengkung sabit paling indah seantero bumanta...