PROLOG

682 58 3
                                    

[ JENO SIDE ]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[ JENO SIDE ]

Piano dan Tuan Berompi Cokelat

Aku duduk termangu meratapi gelas sloki yang sudah tandas seluruhnya. Entah sudah satu dua atau bahkan tiga sloki kutegak habis, acuh pada situasi bahwasannya aku sedang minum sendiri di bar yang cukup ramai malam ini. Tak pedulilah jika aku mabuk sampai luruh dalam alam mimpi, mungkin akan ada yang berbaik hati memesankan taksi. Aku tengah dipermainkan pilu yang dengan kurang ajarnya berseloroh manja dalam kepala. Gagal lagi, telan pil pahit untuk kesekian kali. Siapa suruh datang ke kota ini dengan sejuta harap untuk jadi pesohor di dunia teatrikal, terlalu congkak takar diri cukup pantas untuk bersaing dengan para pelakon berkulit putih. Siapa suruh punya impian setinggi langit, mengemas seluruh bawaan tinggalkan tanah kelahiran lantas memilih jadi perantau di negeri orang.

Broadway, dunia impian para pengusung seni peran. Lenggak lenggok di atas panggung ekspresi, itu yang aku lafalkan tiada henti. Gagal lagi, jatuh lagi. Ribuan kertas audisi sudah kuiisi dengan rinci, penuhi panggilan beribu kali. Namun sial, hanya kata maaf dan coba lagi yang lebih sering ditangkap telinga.

Kutuang lagi sisa wiski yang tinggal sepertiga, kuangkat gelas sloki di udara lalu ketegak habis sepenuhnya. Biar aku mabuk daripada rasa kesal ini meletup sampai mengamuk. Pandanganku bergoyang, objek di batas pandang memburam namun alunan nada merdu merambah rungu seolah berkata jangan dulu aku tutup mata.

Untaian melodi dari tuts-tuts piano menggema lingkupi atmosfer bar yang seketika terasa lebih sunyi, hanyut oleh permainan tuan berompi cokelat yang begitu khusyuk meniti simfoni. Tak lupa tampan yang membingkai parasnya. Aku biarkan diriku terperosok dalam, larut dibuai nada-nada melankoli yang getarkan sanubari. Pertama kali aku datang ke bar ini, tak menyangka akan nikmati musikalisasi seindah ini. Mungkin aku harus datang lagi lain kali, atau jika perlu berkali-kali jejakkan kaki di sini asal rungunya boleh dengar lantunan nada ini sekali lagi.

Sadarku mulai mengabur manakala zat etanol mulai berkuasa atas raga, seiring dengan untaian nada yang samar hilang. Telah mencapai ujung partitur rupanya. Jadi, sudah bolehkah aku pejamkan mata, biarkan otakku beristirahat sebentar saja? Sudah muak aku dengan realita yang ada, biar saja aku limbung dibanding luntang-lantung bersama putus asa yang tak terbendung.

Batas sadarku telah menyentuh titik nadir. Ambruk ragaku menyentuh permukaan keras meja bar yang cukup memberi pening pada pelipis. Ah, sakit sekali. Kepalaku berdenyut seperti dirajam paku ratusan kali.

Samar kulihat bayang tuan berompi cokelat mendekat sebelum mataku menjemput pekat. Sayup kudengar suara rendahnya yang terdengar manis di telinga. Apa ini nyanyian malaikat surga di antara tiupan sangkakala?

"Hei, kau tak apa?! Kenapa kau mabuk sampai seperti ini?!"

"Panggilkan saja taksi untuknya, Jaemin."

Ah, Jaemin namanya, si tuan berompi cokelat, pianis handal dengan paras tampan.

Tunggu dulu.

Jaemin.

City of Stars |  jaemjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang