CHAPTER 2 - Moonlight Sonata

211 39 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jeno melangkah gontai tanpa arah, sesekali ujung sepatunya menendang kerikil-kerikil kecil yang terhampar di sisi pejalan kaki. Helaan nafas berat terdengar dari bibir menyerukan lelah sekaligus jengah yang mendera. Seharusnya ia sudah terbiasa dengan rasa kecewa, namun malam ini hatinya kacau balau agak sedikit menyalahkan keadaan. Jeno mengedarkan pandangannya menjajah keramaian Times Square yang tak pernah redup sekalipun malam berubah larut. Lalu lalang lautan manusia terhampar bebas, masing-masing menyimpan lara dalam asa. Beberapa memilih memalingkan muka mengisinya dengan gelak tawa, tak jarang yang menenggelamkan diri dalam luka.

Angin bertiup lembut menerpa surai kelam sekaligus wajahnya. Udara sejuk malam yang agaknya sedikit menyapu penat. Jeno kembali berkutat dalam lamunan, merenungi kehidupan yang belakangan menambah beban. Gagal berkali-kali, telan pil pahit tiap hari. Mungkin Jeno tak benar-benar sendiri di kota ini, kenal beberapa kerabat termasuk teman satu apartemennya yang memiliki tanah kelahiran sama. Namun tetap sepi menghantui, akan selalu ada hampa yang mendera.

Jeno membawa tungkainya ke ujung persimpangan Times Square sebelum dirinya dikejutkan dengan sebuah sentuhan. Refleks ia memutar tubuhnya cepat bersamaan dengan maniknya yang membulat. 

Wajah tak dikenal namun terasa familiar tengah menatapnya lamat-lamat dengan genggaman tersemat pada lengan. Otomatis pundaknya berjengit sebagai reaksi kejut seraya mengambil langkah mundur. Buru-buru pemuda di hadapannya melepaskan genggaman seolah mampu membaca gurat kurang nyaman yang tanpa sadar terpancar di air muka.

Jeno menyipitkan matanya berusaha menyelami ruang pikir pun mengais memori yang mungkin tersimpan dalam hipotalamusnya. Rupa pemuda di hadapannya tidak asing seakan Jeno pernah bertemu tatap di suatu waktu. 

"Kau ingat aku?" 

'Pertanyaan bodoh macam apa itu Jaemin. Tinggi sekali rasa percaya dirimu,' rutuk Jaemin dalam hati, merasa dirinya benar-benar payah dalam membuka pembicaraan.

Jeno ingin memberikan gelengan sebagai jawaban namun otaknya tiba-tiba bekerja menghempas ingatannya pada kejadian beberapa waktu lalu.

Tunggu dulu, bukankah pemuda ini adalah si tuan berompi cokelat yang ia lihat dua hari lalu di bar? Pianis tampan yang membuatnya terpesona bukan kepalang. Jeno rasakan jantungnya berdegup lebih cepat kala mulai menyadari situasi yang tengah menghampiri. Reaksi apa yang harus ia berikan untuk jawab pertanyaan. Haruskah ia jujur mengatakan bahwasannya ia ingat akan entitas raga ini? Atau berpura-pura tak tahu? Jujur Jeno merasa malu, terlebih jika teringat ucapan Donghyuck—teman satu apartemennya—yang menceritakan detail kejadian malam itu, bagaimana dirinya mabuk dan ambruk di hadapan sang pianis. 

Dapat Jeno rasakan pipinya memanas karena menahan malu namun kepalanya memberi anggukan sebagai isyarat afirmasi. Hidupnya sudah rumit, tak perlu ditambah keruwetan dengan sebuah kebohongan.

"Kurasa wajahmu familiar meski jujur masih terasa samar," jawab Jeno senetral mungkin. Paling tidak dari jawaban yang dilontarkan tidak terlalu terlihat bahwa sesungguhnya Jeno begitu menaruh atensi pada sang pianis handal berparas rupawan. 

City of Stars |  jaemjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang