Countdown #1

97 18 29
                                    

Countdown #1
00 : 00 : 07 : 00 : 02 : 37

Gita

Bel istirahat sudah berbunyi dua menit yang lalu, dan para siswa membanjiri lorong menuju kantin, seolah-olah mereka sudah dikurung di penjara selama ratusan tahun dan akhirnya berhak mengendus udara kebebasan. Itu benar, jika pelajaran yang mereka hadapi adalah matematika, atau fisika, atau ekonomi, atau pelajaran sulit lainnya. Mereka bebas, dan mereka lapar. Makhluk-makhluk seperti itu biasanya ganas sekali.

Aku juga buru-buru keluar dari kelas, tapi tujuanku bukan kantin, setidaknya bukan sekarang. Aku sekarang berada di area kelas XI, mengawasi pintu kelas XI MIPA 1 dengan saksama. Belum ada siswa yang keluar dari kelas itu. Meski begitu, dari tempatku berdiri sekarang, aku bisa melihat dia memperhatikan ucapan guru dengan serius.

Dia, yang sedari tadi kuperhatikan, adalah kakak kelasku yang bernama Aksara, atau yang sering dipanggil Aksa. Cowok yang kuharapkan akan menjadi jodohku.

Saat aku mengatakan itu, aku tidak sedang bercanda. Aku adalah satu dari sedikit orang beruntung yang akan bertemu dengan jodohku di SMA. Bukankah itu istimewa sekali, bahwa kamu sudah bertemu dengan jodohmu di usia yang masih begitu muda? Itulah alasan mengapa aku senang sekali saat melihat countdown di tanganku sudah mulai mendekati angka 0.

Ah, kembali ke Kak Aksa. Menurut countdown di tanganku itu, aku akan berinteraksi dengannya untuk kali pertama seminggu lagi di jam istirahat pertama. Berhubung countdown ini menghitung kapan kali pertama aku berinteraksi dengan jodohku, aku jadi cukup tenang meski sudah banyak melihat Kak Aksa dan banyak mendapatkan informasi tentangnya. Selama aku bisa menjaga agar kami tidak berinteraksi, kemungkinanku berjodoh dengannya tetap ada.

Kirana, teman dekatku di sekolah, tiba-tiba muncul di sebelahku. "Lo ngapain sih, Git? Gue udah laper."

Aku menyodok perut Kirana. "Diem, ih! Nanti kalau ketahuan gimana?"

"Bodo amat! Kalau lo emang pengin kenalan sama Kak Aksa, ya udah, kenalan! Lo nungguin apa, sih?"

Sebelum aku sempat membalas Kirana, guru kelas Kak Aksa sudah keluar dari kelas. Aku menunggu Kak Aksa keluar. Kak Aksa adalah orang yang punya rutinitas yang cukup teratur, sehingga aku tahu dia akan segera pergi ke kantin untuk jajan. Begitu dia melangkah ke luar kelas bersama temannya, aku ikut keluar dari tempat persembunyianku dan mengikutinya dari jarak yang aman.

"Lo tahu kan, kalau countdown gue baru berubah jadi angka 0 seminggu lagi?" tanyaku selagi berjalan di antara kerumunan siswa-siswa lapar. "Gue bakal nungguin countdown itu mendekati 0, baru nanti gue kenalan sama Kak Aksa. Siapa tahu, kan, gue berjodoh sama dia?"

Kirana menghela napas. Dia mengangkat tangan kirinya sendiri, yang menunjukkan angka 11 tahun lebih enam bulan. "Ah, lo beruntung banget, sih. Lah, gue, baru bakal ketemu jodoh di umur 27 tahun. Keburu diomelin emak gara-gara menjomlo 27 tahun."

"Cari pacar aja, lah. Banyak kok yang pacaran walaupun nggak sama soulmate-nya."

"Terus gunanya gue tahu kapan ketemu soulmate apa?" Kirana mendengus. "Lagipula, nggak akan ada gunanya. Hubungan itu pasti akan berakhir, jadi buat apa dimulai?"

Sejujurnya, aku pun menyadari kebenaran dalam ucapan Kirana. Salah satu tetanggaku ada yang berpacaran selama 8 tahun, hanya untuk putus dan ditinggal menikah karena pacarnya sudah bertemu dengan jodohnya. Aku tidak bisa membayangkan rasa sedih yang dirasakan tetanggaku itu. Sejak mendengar ceritanya, aku jadi ingin langsung berpacaran dengan soulmate-ku saja dan bukan orang lain. Buat apa susah-susah memendam rasa dan menghabiskan waktu dengan orang yang pada akhirnya akan pergi?

Karena itu aku berharap banget Kak Aksa yang akan menjadi jodohku. Kemungkinan itu selalu ada. Sayangnya, aku tidak bisa melihat countdown di tangan Kak Aksa.

"Omong-omong, Git, lo udah yakin pengin jadi soulmate-nya Kak Aksa? Memangnya, apa kerennya Kak Aksa?"

Oh, Kirana menanyakan hal yang salah, karena aku bisa menceritakannya dalam sebuah esai tiga ribu kata, lengkap dengan penjelasan detail dan bukti kuat. Kak Aksa punya segudang prestasi dan talenta, dan secara keseluruhan adalah tipe cowokku banget.

Pertama, Kak Aksa adalah ketua OSIS SMA Wiyata Mandala. Di mana-mana, hanya orang keren yang bisa jadi ketua OSIS. Tapi, khusus Kak Aksa, tingkat kekerenannya bertambah berkali-kali lipat karena, yah, kegantengannya. Dan karismanya. Dan keahliannya memimpin, juga kedewasaannya. Boyfriend material banget nggak sih? Dan, kalau aku berpikir jauh ke depan, Kak Aksa juga pasti husband material banget.

Aduh, aku jadi malu sendiri.

"Git, jelasin ke gue, jangan dipikirin aja," Kirana menyodok pinggangku. "Jangan senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Eh, cocok tuh, Gita gila."

"Nyebelin!" Aku balas menyodok Kirana dengan siku. "Yah, gue sih yakin kalau Kak Aksa itu orang yang cocok buat gue. Dia kan, tenang dan bertanggung jawab."

"Gue rasa dia justru akan stres menghadapi lo yang serampangan gini deh, Git."

"Opposite attracts." Gita mengedikkan bahu. "Dukung gue dong, Na, buat mencapai impian gue. Nggak ada yang salah dengan bermimpi."

Kami memasuki Kantin Depan yang sudah dijejali banyak orang. Ukuran Kantin Depan lebih kecil daripada Kantin Belakang, dan menurutku, rasanya tidak jauh berbeda. Aku lebih suka jajan di Kantin Belakang karena relatif tidak berdesak-desakan. Hanya saja, Kak Aksa lebih suka jajan di Kantin Depan. Makanya, sejak beberapa hari terakhir, aku selalu mengikutinya ke sini.

Aku mengecek countdown di tanganku. Sisa enam hari, 23 jam, 57 menit. Kurasa, interaksi pertamaku dengan Kak Aksa adalah saat dia baru keluar dari kelasnya. Aku hanya perlu memastikan aku keluar kelas tepat waktu, bergegas berjalan ke kelas Kak Aksa, dan menemuinya saat detik di countdown-ku mendekati angka 0. Semoga saja ide itu bisa dilaksanakan.

Aku menunjukkan pergelangan tangan kiriku pada Kirana. "Lihat deh, Na."

"Jangan sekarang, Git. Gue laper." Kirana sudah tidak memperhatikanku lagi. Matanya sudah terfokus pada ayam balado.

Sambil ikut mengantri, aku kembali mengalihkan perhatianku pada sekeliling, mencari-cari Kak Aksa. Kantin Depan, seperti yang kubilang, selalu ramai. Meski begitu, cukup mudah menemukan Kak Aksa di sini—cari saja yang paling bersinar di antara siswa lainnya. Hehe.

Jawaban seriusnya: Kak Aksa biasanya dikelilingi oleh banyak orang. Dan maksudku banyak adalah, banyak. Entah itu anggota OSIS yang meminta masukannya terhadap sesuatu—aku pernah tidak sengaja menguping—, teman sekelasnya, atau adik kelas yang caper. Jarang-jarang dia bisa makan pagi dengan tenang. Namun, dia begitu supel dan sabar, sehingga dia meladeni semuanya sambil makan.

Tapi, itu jugalah yang membuatku kesulitan mencoba mencari tahu angka countdown di tangannya. Aku tidak berani mendekatinya karena pertama, aku takut usahaku itu akan dihitung sebagai sebuah interaksi. Kedua, hampir tidak mungkin mendekati Kak Aksa hingga bisa melihat tangannya karena dia dikerumuni banyak orang setiap saat. Aku hanya bisa berharap kalau angka di pergelangan tangannya menunjukkan angka yang sama denganku.

Aduh, dia tersenyum. Rasanya aku ingin meleleh. Senyum Kak Aksa selalu bikin salah fokus.

"Git, jangan senyum-senyum sendiri. Pesen makan, gih! Keburu habis!"

Ah, benar. Aku mengalihkan pandangan dari Kak Aksa dan segera memesan makanan. Akan ada waktunya aku berinteraksi dengan Kak Aksa. Waktu itu bukan hari ini, tapi minggu depan, saat angka di pergelangan tangan kiriku mendekati angka 0.

Tunggu aku, Kak Aksa!

Soulmate CountdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang