1

503 45 7
                                    

*
*
*
Denial
*
*
*

Seokjin mengaduk lattenya. Gerakannya sangat tidak berselera, dan pemuda di depannya terus mengamati. Ia menyadari sesuatu.

"Apa kau tidak akan membiarkan cangkir itu kosong? Waktu istirahat akan segera berakhir, Seokjin."

Seokjin menoleh, setelah pandangannya menyapu arah jalan di luar kafetaria. "Ya, aku akan meminumnya." Ia tersenyum. Dan hal itu mampu membuat si pemuda yang duduk di seberangnya tersenyum lega, sehingga mengeluarkan lesung di kedua pipi.

"Aku bahkan sudah menghabiskan dua piring kentang goreng. Dan kau, masih saja mempermainkan minumanmu."

"Baiklah, Tuan Jenius. Aku akan menghabiskannya, segera." Dan Seokjin meminum dengan sekali tarikan napas. "Bagaimana? Aku sudah menjadi anak yang baik, bukan?" Sekali lagi Namjoon tersenyum puas.

"Itu terlihat lebih baik. Daripada harus terus-menerus melihat dirimu bersedih."

Kalimat itu membuat Seokjin bungkam.

"Jadi, kau mau berbagi cerita padaku?"

Tidak. "Namjoon, kurasa waktu istirahat sudah berakhir. Ayo, kita kembali ke ruangan." Seokjin beranjak, dan bergegas meninggalkan kursi. Ia mengabaikan pertanyaan Namjoon.
.
.
.
.
.
Seokjin menunggu gelisah. Seharusnya, setengah jam lagi waktunya selesai, dan ia bisa pulang dengan tenang. Tapi direktur Choi mengintruksi beberapa manajer dan staff untuk mengikuti briefing. Ini diluar dugaan.

Namjoon, seperti biasa, ia bisa melihat kegugupan Seokjin dengan jelas. Ia terus memperhatikan sambil menimbang keadaan yang membuat Seokjin sangat gelisah. Sudah menjadi kebiasaannya, dan Namjoon yakin ada sesuatu yang buruk terjadi selama ini.

"Seokjin, kau oke?" Di sebelahnya, Namjoon menyentuh punggung Seokjin. Seokjin hanya membalas dengan anggukan pelan. Sesekali ia melihat arloji di pergelangan tangan. "Aku harap waktu berhenti berputar, sebentar saja," ungkapnya, dengan suara lirih.
.
.
.
.
.

"SIAL!" Selembar kertas disobek. "Kenapa mereka memberikan laporan sampah seperti ini?!!" Disusul lembaran lainnya.


"M-maaf, Tuan Jeon." Wanita di hadapannya menunduk dalam.

"Kenapa kau meminta maaf? SEHARUSNYA MEREKA YANG DATANG KESINI, MEMOHON, DAN MENJILATI PERMUKAAN SEPATUKU!" Jungkook mendelik. "Keluar dari ruanganku, dan segera panggil Jimin kemari!"

"B-baik, Tuan." Wanita itu berbalik, berjalan buru-buru untuk menggapai pintu. Ia tidak tahan jika terus menyaksikan kemarahan pimpinannya. Tidak seharusnya perusahaan anak cabang terlibat dalam penggelapan dana, jika saja mereka tahu apa yang akan terjadi setelahnya, mereka pasti akan menyesal.

Park Jimin berdiri sambil memberikan informasi. Seusai penasihat keuangannya itu menjelaskan semua, Jungkook berujar, "mengapa manusia-manusia kotor masih terus berada di sekelilingku?" Pemuda bersurai gelap itu bangkit. "Jimin, segera bereskan kekacauan ini, dan buang mereka yang terlibat!"

"Baik, Tuan."

"Jangan terlalu formal, kau terlihat menggelikan."

"Terserah, jika itu maumu. Kau tahu, kau agak menyeramkan ketika marah. Kau bahkan membuat sekretaris Hara panik. Dan..." Jimin membuang napas percuma. "...aku harap kau tidak melampiaskan kemarahanmu padanya nanti."

Denial [KookJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang