Rintik hujan terdengar menenangkan di telinga, gue dengan rasa antusias yang tinggi sudah siap dengan beberapa buku catatan dan modul. Tau kan mau apa? Iya, belajar bareng. Tapi ternyata sampai saat ini Kak Nevan belum juga mengirim pesan, padahal ini hampir jam delapan malam.
Beberapa kali gue membuka WhatsApp demi memastikan bahwa hp gue emang berfungsi dengan benar, tapi tetap aja, tak ada satu pesan pun dari Kak Nevan. Ini mungkin sudah yang ke lima kalinya gue cek terus kontak Kak Nevan, apakah mengetik atau enggak, tapi memang benar tak ada tanda-tanda dia ingin mengirimkan pesan.
Lama, cukup lama gue menunggu, sampai akhirnya gue beraniin diri buat cek room chatnya. Ternyata, dia online! Apa gue harus ngechat duluan? Tapi kesannya malah keliatan kalau gue berharap banget. Terus harus gimana?
Ada sekiranya lima menit gue standby di room chat Kak Nevan, bahkan bolak-balik liat snap whatsapp orang, tapi tak ada satu pun pesan. Padahal pas gue cek lagi Kak Nevan lagi online. Gue jadi mikir, kayaknya emang gue yang terlalu kesenengan, terlalu excited sampai berharap sebegininya.
Hmm, kayaknya, gue harus kerjain sekarang aja daripada nunggu yang nggak pasti.
Baru aja gue buka buku, hp gue tiba-tiba bunyi. Dalam satu sambaran gue langsung membuka aplikasi tukar pesan itu, tapi rasa seneng gue pupus seketika saat mendapati pesan itu bukan dari Kak Nevan.
Rama, dia yang mengirim pesan.
Gue cuma melenguh sudah tak berharap lagi.
Rama
[Shaf, ganggu ga?]
[Enggak]
[Kenapa?][Mau nanya]
[Apa?]
[Sejarah udah?]
[Belum]
[Baru mau ngerjain][Oh iya]
Rama apaan sih, nggak jelas amat. Bukannya gue merasa lebih baik malah makin badmood.
Gue cuma read pesannya gitu aja.
Habis itu gue langsung lock hp gue, membiarkannya dengan data internet yang masih terhubung. Gue menyambar buku sejarah saat itu juga, ingat betul bahwa tugasnya lumayan banyak. Baru aja gue baca satu nomor, pikiran gue udah melayang kemana.
Ternyata efek dari harapan yang dipatahkan begitu berpengaruh bagi gue. Pandangan gue bahkan terus-menerus melirik ponsel yang gue letakan tepat di samping buku. Dari layar yang tetap mati, itu menandakan bahwa tak ada satu pesan pun yang masuk.
Akhirnya, gue berusaha sekuat mungkin buat fokus, dengan memotivasi diri kalau semakin cepat semakin baik. Maka dalam waktu kurang lebih satu jam, hampir seluruh soal selesai gue kerjakan. Tersisa dua soal lagi yang masih belum gue jawab, agak susah jadi sengaja gue lewat.
Tapi lagi-lagi perhatian gue terarah pada ponsel yang sama sekali tak menunjukan notifikasi apapun. Begitu gue pegang itu ponsel, satu notifikasi langsung muncul di atas layar. Lagi-lagi dari Rama.
Rama
[Udah selesai, Shaf?]
[Belum, Ram dua soal lagi]
[Oh iya]
[Mau jawaban?]
[Gue kirimin]Gue membiarkan pesannya menganggur agak lama. Malah berselancar untuk melihat snap WhatsApp orang lain. Hal pertama yang bikin perasaan gue nggak enak adalah ketika munculnya status Kak Nevan yang tertera waktu 45 menit yang lalu. Itu artinya Kak Nevan memang online semenjak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamat Menikmati Rasa Sakitnya
FanfictionNasib tak menyenangkan harus hinggap di hidup Shafa, gadis biasa yang duduk di sekolah menengah atas. Sebenarnya klasik, ini kisah percintaan pada umumnya. Namun, tetap saja, Shafa mengalami kebingungan dalam urusan cintanya. Di satu sisi, dia meny...