.......
"Aaaaaa, lampunya matii" Teriakan cempreng terdengar keras di telinga Abidar dan Revan.
Nadira dan Salwa berlari mencari Alia yang sudah berada di tengah ruangan.
Berpegangan erat, tanpa mau dilepaskan. Sedangkan Abidar, mencari panah yang tergeletak di atas meja tengah dekat speaker Alia. Setelah diraba bagian meja yang berantakan itu, bentuk yang menyerupai pun tidak ditemukan oleh tangan Abidar.
"Revaaann.. mana itu muu?" Teriak Abidar melihat ke posisi terakhir Revan, terhenti.
"Apa namanya?" Sambung Abidar.
Abidar mulai mengingat yang sedang dia cari dan kembali meraba meja."Panah" Sambung Abidar setelah mengingat-ingat, dengan tangan yang terus mencari panah.
Tapi yang membuatnya heran Revan tidak menyaut perkataannya Abidar."Revan?" Abidar mencoba memastikan Revan ada di mana. Ternyata tidak ada sautan suaranya sama sekali.
Nadira, Salwa, dan Alia tetap berpegangan erat, namun mata Nadira sudah tidak tahan menampung air yang tertimbun di dalamnya.
Terlihat cengeng? Diusia Nadira yang mulai dewasa ini, hal yang menjadikan dirinya menunjukkan hal yang tidak wajar dimata orang lain. Kemungkinan ada yang terjadi di masa kecilnya.
Semua orang yang ada di dekat Nadira setelah di tempat gelap, akan merasa aneh dan bertanya-tanya soal pipi Nadira yang basah dan mata merahnya."Baa" Ucap Revan tertawa bersamaan dengan memencet saklar.
Ketawa yang semakin keras hingga perutnya tidak bisa menahan sakit, dia langsung memegang dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya membawa panah miliknya.Muka Nadira masih berlumuran air mata. Dengan mengembalikan air yang mengalir di daerah hidungnya. Malu dengan kondisi yang sedang di alami sekarang, Nadira menutup mulutnya dan berlari meninggalkan ruangan.
"Nadira.." Salwa dan Alia serentak memanggil nama teman yang melepas genggaman eratnya.
Berusaha untuk mengejar, tapi di halang sama Revan."Jangan tambah bikin dia panik, biar aku coba samperin ya?" Ucap Revan sembari meletakkan panah di pergelangan tangan dan memegang tangan Salwa dan Alia dari belakang tubuhnya.
Revan kehilangan jejak,
entah dimana keberadaan Nadira sekarang.Berputar mengelilingi daerah situ, tetapi tidak ada batang hidungnya sama sekali.
Revan mencoba jalan ke belakang ruangan, dimana di sana ada taman kecil dan banyak bangku berjejeran.
Mendengar isak tangis perempuan disana. Dengan keyakianannya, Revan mulai mendekat ke arah suara tangisan itu.
"Kalau nangis bisa buatmu tenang, gapapa nangisin aja"
"Kamu harus bisa biasain menerima perasaan yang sedang kamu rasakan sekarang""Hmm.. Revan?!" Ucap Nadira, reflek menoleh ke arah Revan yang berbicara 5 langkah dari kursi yang dia duduki dengan membersihkan air yang mengalir deras di pipinya.
"Udah, nangisin dulu aja. Aku gak ganggu" Ucap Revan sambil berjalan menjauhi Nadira dan duduk di kursi yang tertutup oleh tanaman.
Sementara itu, di dalam ruangan Abidar dengan posisi yang tidak berubah dari sebelum lampu nyala, termenung memikirkan perempuan yang selama ini di kagumi diam-diam.
pergi tanpa alasan