TR-1 ( Tamu tak di duga )

57 7 12
                                    

"Kamar Alya di mana Yah?" tanyanya sembari menatap Ayahnya yang tengah menggeret dua koper miliknya masuk ke dalam rumah.

"Di lantai dua," ujar pria itu, Prasetyo Ibrahim Bakhit atau yang kerap disapa Tyo.

Atalya lalu mengekori Ayahnya yang mulai menaiki anak tangga ke lantai dua. Rupanya kamarnya tepat berada di depan anak tangga paling atas.

"Bagaimana Ayah tahu style kamar yang aku mau?" tanya Atalya sembari menatap Ayahnya yang sudah masuk lebih dulu.

"Ayah mengamati kamarmu yang di Paris, bukankah ini sebelas duabelas?" tanya Tyo sembari menatap putrinya.

"Hm, cukup mirip. Ayah keluarlah, aku mau istirahat," titah Atalya.

"Baiklah, kalau butuh sesuatu panggil Ayah di sebelah, atau bisa panggil Bi Anjar juga," balas Tyo.

"Iya, sudah keluarlah Yah," usir Atalya dengan rengekan kecil.

"Baiklah sayang, pikirkan tentang tawaran Ayah," ujar Tyo sembari mengecup puncak kepala Atalya sebelum pergi.

Namun, belum sampai Atalya menutup pintu, pria itu tiba-tiba menatapnya, "Eum, Ayah rasa kau tidak perlu memikirkannya, tapi ... kau harus mempersiapkannya sayang. Sudah Ayah pergi dulu."

Brak!

Setelah membanting pintu kamarnya Alya segera membuka koper miliknya mencari handuk dan peralatan mandi yang ia bawa.

"Istirahat katanya? Tapi aku dibebani dengan bayang-bayang tawaran mengerikan itu. Bagaimana mungkin aku menikahi duda Kakak tiriku sendiri, bisa-bisa aku diteror oleh hantunya Kak Shena karena tidak terima suaminya aku ambil," gerutu gadis itu.

Ia lalu segera mandi untuk menenangkan tubuh dan pikirannya. Dua puluh tahun tidak pulang, sekalinya pulang diberi kejutan menyeramkan.

Atalya baru saja selesai mandi, gadis itu memakai dress tidur yang panjangnya hanya setengah paha dengan warna navy. Semua baju tidurnya memang memiliki ukuran yang sama, mungkin hanya berbeda warna dan motif.

Gadis itu lalu duduk di meja belajar dan mulai berkutat dengan laptop miliknya, akhir-akhir ini ia memang sedang sangat sibuk mengurus anak perusahaan Opanya yang berada di Jakarta.

Fokusnya sontak terpecah oleh ketukan pintu, "Atalya, turunlah dulu, ayo makan malam."

"Baiklah Yah!"

Gadis itu lalu segera turun ke bawah, ia memang sedang sangat lapar, juga merindukan masakan Indonesia.

"Kita makan apa Yah?" teriaknya riang.

Namun, langkah kakinya sontak melambat saat mengetahui bahwa di meja makan tidak hanya ada Ayahnya, melainkan sepasang suami istri yang cukup asing baginya.

"Alya, kemari," panggil Tyo.

Atalya lalu mendekat dan langsung duduk di sebelah Ayahnya, gadis itu masih bertanya-tanya perihal siapa sepasang suami istri di depannya ini.

"Ini orang tua Praditya," jelas Tyo, seketika nafsu makan Atalya menurun. Mengapa Ayahnya terus mendesak perihal pernikahannya dengan Ditya.

"Eum, salam kenal Om Tante, saya Atalya," ujar Atalya dengan senyum kikuk.

"Perkenalkan saya Olivia dan ini suami saya Ivan," balas wanita itu ramah.

"Ah iya Tante."

"Jadi kesibukan kamu apa untuk sekarang ini?" tanya Olivia.

"Kebetulan saya sedang mengurus perusahaan Opa saya Tante," papar Atalya.

"Wah, kamu CEO? Mengesankan sekali, memangnya usiamu sekarang berapa?" balas Olivia berbinar.

"Saya dua puluh tiga Tante," balas Atalya seadanya.

"Maaf Pak Tyo, bukankah Bakhit Corp Anda yang mengelola?" tanya Ivan.

"Memang, saya mengelola Bakhit Corp, perusahaan yang dikelola oleh Atalya adalah pemberian Opa dari pihak Ibunya, Nuala Corp," jelas Tyo.

"Tunggu, Nuala Corp bukankah perusahaan asal Paris?" Ivan kembali angkat suara.

"Benar sekali Om, saya sejak kecil tinggal di Paris, dan sudah ikut Opa mengelola perusahaan sejak umur tujuh belas tahun, lalu Opa wafat tiga tahun lalu, jadi saya yang mengambil alih," jelas Atalya.

"Saya cukup kenal baik dengan Tuan Region Nuala, saya tidak menyangka jika gadis kecil yang ikut beliau dalam meeting sepuluh tahun lalu, akan menjadi menantu saya," ujar Ivan disertai kekehan kecil.

Mendengar kata menantu yang terucap dari bibir Ivan membuat Atalya merinding sebadan-badan.

"Ya sudah, kita langsung makan saja," ujar Tyo.

Makan malam pun berjalan dengan khidmat, barulah Atalya menyadari satu hal, pakaiannya, "Astaga, saya baru sadar, maaf Om Tante, pakaian saya mungkin terlalu terbuka. Ayah tidak bilang jika ada tamu, jadi saya tidak bisa berpenampilan dengan baik."

"Tidak masalah, kami yang minta maaf karena mengganggu waktu istirahat kamu untuk makan malam bersama," balas Olivia dengan senyuman tulus.

"Oh iya, maaf ya, Praditya belum bisa bergabung dengan kita malam ini. Karena tadi pagi baru saja terbang ke Aussie untuk mengurus masalah di perusahaan cabang kami," jelas Olivia.

"Tidak masalah Tante, tapi mohon maaf jika saya lancang. Bukankah kita masih berkabung atas kematian Kak Shena, apakah pantas mengadakan pernikahan dalam waktu dekat ini? Apa kata publik nanti Tan," ujar Atalya.

"Tante hanya tidak ingin Praditya terpuruk terlalu lama Nak, lagi pula Praditya dan Shena sudah bercerai dua bulan sebelum Shena meninggal karena kecelakaan, jadi ini sama sekali tidak terburu-buru," papar Olivia.

"Apa benar Ayah?" Atalya sontak menatap Ayahnya.

"Itu memang benar Nak," ungkap Tyo.

"Tapi apakah Kak Ditya sudah setuju soal ini?" tanya Atalya.

"Tentu saja, tinggal menunggu persetujuan dari kamu Nak."

"Apa alasan perceraian Kak Shena dan Kak Ditya?"

"Shena tidak mau meninggalkan dunia modelling," cetus Tyo pada akhirnya.

"Loh? Aku juga tidak mau berhenti berbisnis Tan," sergah Atalya.

"Tante tidak melarang kamu berbisnis, kami menyuruh Shena berhenti berkarier, karena sebagai model Shena harus menggunakan pakaian terbuka di depan umum, tubuhnya terekspos dimana-mana, juga berfoto mesra bersama pria lain."

Atalya spontan membatin, "Alasannya masuk akal, suami mana yang mau melihat tubuh istrinya diumbar dimana-mana."

"Jadi bagaimana Atalya, apakah kamu setuju? Anggap saja ini adalah turun ranjang kamu menggantikan Shena sebagai istri dari Praditya," tanya Ivan.

"Saya masih ragu Om, saya tidak yakin bisa membagi waktu antara urusan kantor dengan kewajiban saya sebagai seorang istri," balas Atalya.

"Kamu tenang saja, Praditya juga cukup workaholic orangnya. Jadi kalian bisa sama-sama bekerja di siang hari, lalu menikmati waktu bersama di malam hari. Itu bukan masalah besar," balas Ivan dengan santainya.

"Apakah Kak Ditya benar-benar sudah menyetujui ini Om, Tante?" Sekali lagi, Atalya ingin memastikan hal yang satu itu.

"Tentu saja, mungkin kami bisa memaksamu, tapi Ditya tidak mungkin. Bagaimanapun dia laki-laki, dan dia yang akan mengucap ijab kabul, jadi mana mungkin kami memaksanya," terang Ivan.

"Benar juga kalau dipikir-pikir, jika Kak Ditya terpaksa, mana bisa kami menikah, kan dia yang akan mengucap ijab," batin Atalya sembari termenung.

"Jadi bagaimana Atalya, apakah kamu mau menerima pernikahan ini?" tanya Olivia dengan wajah penuh harap.

"Eum, bagaimana kalau saya pikir-pikir dulu Om, Tante?" balas Atalya.

"Baiklah, berikan dia waktu berpikir Ma, semuanya terlalu mendadak untuknya," ujar Ivan.

"Om dan Tante barangkali mau mengobrol dengan Ayah, Atalya permisi naik ke kamar. Ada berkas yang haru di urus, permisi," pamit Atalya sebelum akhirnya naik ke kamarnya, dengan jantung yang berdegup kencang.

___________________

To Be Continue

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TURUN RANJANG [ NEW VERSION ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang