09 - Dari Dua Puluh Lima April

81 15 5
                                    

Dari 25 April.

Bhalendra
Saya sudah di depan.

Aku membaca dengan jelas pesan yang Lendra kirimkan padaku. Pagi itu tepat pukul tujuh aku sudah siap dengan baju rapi untuk pergi ke Malang bersamanya.

Setelah berdiskusi cukup panjang, kami berdua memilih untuk tidak berangkat menggunakan kereta ataupun pesawat.

Meski kami tahu jika perjalanan dengan mobil sudah pasti akan menempuh waktu lebih lama tapi keputusan itu sama sekali tidak membuat kami menyesalinya.

Kira-kira butuh sepuluh jam untuk kami berdua sampai di Malang. Dan itulah alasan mengapa aku dan Lendra sudah berangkat pagi-pagi sekali. Agar malam harinya dia bisa langsung bertemu dan makan malam bersama dengan Rumi.

Sebenarnya pikiranku ini masih kalut. Aku masih memikirkan Nares yang entah dari mana, dia bisa muncul di depan wajahku? Jujur, aku masih mengkhawatirkannya.

Tetapi kemarin, untuk mengejarnya saja aku tidak sanggup dan malah ambruk di tempat. Bagaimana mungkin sekarang aku malah ingin berjumpa dengan Nares lagi?! Sudah pasti aku akan membeku mematung. Baru setelah itu menangis pilu tersedu-sedu.

Pagi ini Lendra memakai setelan jas yang sangat rapi. Aku sempat berpikir apakah penampilannya itu bisa tetap sama jika sudah tiba di Malang nanti? Ah sudahlah. Aku tak mau pusing-pusing memikirkan hal yang belum terjadi. Lebih baik sekarang aku menikmati pemandangan saja dari dalam mobil milik Lendra.

Seperti biasa, mobilnya nyaman dan wangi. Sepertinya dia sangat menyukai kerapihan dan menjunjung tinggi nilai kenyamanan. Benar-benar pria yang cocok untuk Rumi!

Pada jam-jam pertama, kami lebih banyak diam. Sampai akhirnya Lendra membuka suara. Lendra bertanya apakah aku sudah sarapan atau belum. Kalau belum, Lendra bisa menghentikan mobilnya di mana saja. Di restoran terdekat mana saja maksudku.

Aku sempat mengangguk. Aku bilang sudah. Tetapi Bhalendra seperti tak mempercayai ucapanku barusan. Dan ia malah langsung melontarkan sebuah pertanyaan kepadaku.

"Semalam Barmu tutup pukul berapa?"

Bar? Mengapa Lendra tiba-tiba bertanya tentang tempat kerjaku? Lendra memang penuh teka-teki. Aku tak bisa apa-apa lagi selain menjawab pertanyaan miliknya tadi.

"Jam satu pagi," kataku menoleh padanya.

"Tidak mungkin kamu sempat sarapan,"

"Sempet kok. Gue kan bangun jam enam. Jangan nuduh apa-apa lagi. Gue beneran lagi nggak boongin lo sekarang, Lendra."

"Nuduh? Memangnya saya menuduhmu apa? Bohong? Memangnya kamu pernah berbohong kepada saya?" tanya Lendra dengan mata yang sesekali melirikku.

Pertanyaan yang lagi-lagi menandakan kebodohanku! Argh! Maya bodoh sekali! Lantas sekarang aku harus jawab apa?!

"Intinya, aku sudah sarapan, Bhalendra."

"Tumben sekali? Tidak memakai bahasa gaul?" celetuk Lendra keheranan dengan gaya bahasaku yang mendadak berubah.

ASTAGA!

Aku sendiri saja sampai tak menyadari, kalau tadi aku refleks berbahasa seperti Maya yang masih hidup di Malang dulu.

Duh May! Sebenarnya hari ini kamu sedang kenapa sih?! Mengapa kamu tak mau fokus sedari tadi?! Apa yang membuat kamu juga bertingkah konyol seperti ini? Atau jangan-jangan semua ini karena Nares? Karena kamu yang begitu mengkhawatirkannya? Akibat peristiwa kemarin malam di Bar?Entahlah. Aku sendiripun tidak tahu pasti.

Love Love Love ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang