06 - Dari Jakarta Sebelas April

79 20 5
                                    

Dari Jakarta 11 April.

Rasanya sudah lama sekali aku tidak menyentuh buku ini untuk menulis lagi, terlebih sejak hari di mana aku dan dia memutuskan untuk berpisah.

Orang-orang mungkin juga akan mengira jika aku bukanlah "Maya" yang dulu lagi. Maya yang selalu berkata lembut penuh tutur kata sopan juga baik.

Ya.

Karena sikap dan karakterku memang sudah jauh berbeda dari sebelumnya. Bahkan Rumi sahabat baikku sampai mengatakan jika aku sudah berubah seratus delapan puluh derajat.

Memang aku bukanlah Maya yang dulu lagi. Maya yang selalu memakai pakaian sopan yang cantik dan anggun.

Melainkan sudah menjadi Maya yang selalu mengenakan pakaian sexy untuk menghibur pria-pria di bar miliknya.

Aku juga sudah bukan Maya yang menjaga rapi kuku-kuku milikku agar tetap bersih. Kini, semua itu sudah tak ada. Nail arts di semua kuku milikku sudah menjadi saksi bisu tentang bagaimana aku merubah diri.

Aku akui itu. Aku juga bisa melihatnya di cermin yang kini ada di hadapanku. Aku mengakui itu bersama wine yang tengah menemaniku malam ini.

I lean on my drinks. Yang terasa lebih pahit dari malam-malam sebelumnya. Entah apa yang membuatku kembali membuka buku penuh kenangan ini. Entah perasaan apa yang juga sedang mengangguku hari ini.

Aku tak tahu.

Namun sepatu yang aku lihat di sebuah toko pinggir jalan saat aku baru saja pulang dari bar tadi benar-benar mengingatku pada sepatu milik Nares.

Sepatu milik seseorang yang tidak mungkin bisa hadir lagi dalam hidupku. Seseorang yang juga sudah pergi jauh meninggalkanku.

Sepatu berwarna hitam yang selalu kami lihat berdampingan dengan flat shoes putih milikku itu benar-benar sama persis dengan sepatu milik Nares yang mungkin juga masih ada di dalam apartemen kami.

Karena setahu-ku, apartemen kecil kami belum terjual dan belum ada yang mau membelinya. Apartemen kecil yang Nares beli hanya untuk mengukir kisah rumah tangga kita berdua agar selalu menjadi tempat yang dipenuhi kebahagiaan.

Tentang apartemen kecil kami, Nara yang memberitahuku seminggu lalu. Tepat satu hari sebelum hari ulang tahunku yang ke 27 tahun kemarin.

Ya.

Nara masih sering menghubungiku sampai detik ini. Entah karena apa. Aku juga tidak tahu mengapa Nara masih ingin menjalin hubungan denganku. Padahal aku sudah mencoba untuk menjauh dari hidupnya.

Mencoba berlari tanpa menengok ke arah belakang lagi adalah hal yang sudah aku lakukan sejak aku keluar dari ruangan itu.

Malam itu, Nares sempat menggenggam dan menahan tanganku untuk tidak dulu pergi dari sana. Nares mengucapkan tiga kata yang sampai detik ini masih bisa aku dengar dan terus terngiang di telingaku.

"Saya minta maaf," ucapnya pelan ketika sudah berhasil menahan kepergianku.

Aku tidak tahu Nares meminta maaf untuk apa, karena yang aku tahu itu sama sekali bukan kesalahannya. Tetapi setelahnya, ia kembali berucap, "Saya minta maaf karena tidak bisa ingat siapa kamu dan saya juga minta maaf jika kamu menangis karena saya." sambungnya yang masih duduk di atas kursi roda.

Aku mencoba untuk tetap tenang dan tidak tersulut emosi. Tapi rasanya sulit sekali, aku tidak bisa, detik itu aku hanya ingin melampiaskan segalanya. Melampiaskannya pada Nares yang saat itu masih menjadi suamiku.

Love Love Love ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang