08. Genggaman Tangan

55 4 0
                                    

❝Saat aku ingin menggenggam tanganmu, di situlah aku ingin jujur semua tentangku. Tentang hidupku.❞

☀️ & 🌙

Sun with (out) Moon | Genggaman Tangan

☀️ & 🌙

Giselle menggerutu, ini tidak adil menurutnya. Meresahkan sekali. Baru saja lima belas menit ia berdiri mencari tempat aman agar tidak terkena tendangan bola (Giselle ini spesies pemain yang cuma ikut teriak 'Gol!' doang alih-alih memperjuangkan bola.) Teriknya matahari membuat badannya berkeringat dan terasa sangat panas. Lalu, sekali lagi ia kesal saat Yena berlari padanya lalu menarik tiba-tiba tangannya dan dengan santainya bilang, "Giselle, Giselle. Gawat, lo merah!"

Mending kalau itu hanya terdengar oleh Giselle, lah ini satu lapangan langsung mengarahkan pandangannya pada Giselle yang cengar-cengir macam orang bego. Giselle meraba-raba bagian celananya, sialan sekali. Ia meringis meskipun sebenarnya ia menggertakkan gigi-giginya. Yena langsung berusaha mengantarkan Giselle ke toilet dengan selalu berdiri di belakang temannya itu.

Momen seperti ini memang meresahkan, Yena pernah mengalami itu, bahkan sering sekali. "Entar lo diem di toilet aja, gue beliin lo pembalut sama ambil baju ganti, ada bendera Jepang di bokong lo," bisik Yena sebelum mereka benar-benar keluar dari lapangan.

Anggara yang diteriakki agar segera menendang bola supaya cepat-cepat mencetak gol itu fokusnya buyar gara-gara Giselle yang berpindah tempat. Alhasil, ia tak menendang bola, namun menggiringnya ke sembarang arah dan berlari menyusul Giselle dan Yena, napas Anggara terengah-engah saat ia berhasil menghampiri dua gadis itu. "Giselle!"

Giselle segera berbalik badan, terkejut karena Anggara. "Eh, ngapain?"

Anggara terdiam, iya, ngapain? Bodoh, Anggara mengusap rambutnya sambil berusaha mencari jawaban. Yena sudah memberi kode untuk segera pergi, namun Giselle malah sepaneng di depan Anggara, rupanya menanti jawaban lelaki itu. "Anggara, lo ngapain?"

"Oh, gue mau toilet bentar," jawab Anggara pada akhirnya, meski sempat ragu-ragu. Karena itu berarti, ia akan bertemu dengan Haekal.

"Loh, kok sama?" tanya Yena, spontan karena terkejut. Giselle langsung menabok bahunya, memberikan tatapan tajam berarti, "Pinter banget sih lo!"

Anggara berlalu lebih dulu, melintaskan kakinya di sepanjang koridor, menyusuri tiap pintu kelas alih-alih menuju toilet seperti yang ia bilang. Tepat di samping kelas 12 IPS 1, tangannya lagi-lagi mengepal, menahan amarah yang meletup-letup, ingin sekali meraung sepuas mungkin. Pintu kelas masih tertutup, ia hanya bisa melihat dari jendela. Marka, Dirga, Randy ... mereka tertawa di barisan belakang saat tidak ada guru di dalamnya. Kenapa mereka bisa tertawa lepas seperti itu?

Ketiganya berhenti bergurau saat Juno memberi isyarat yang membuat mereka menemukan keberadaannya di sini. Marka menatapnya lama, sebelum akhirnya lelaki itu memejamkan mata. Entah itu tidak tahan dengan tatapan Anggara, atau justru perasaan bersalah yang tidak pernah tersirat. Berbeda dengan Marka, Dirga menghindari tatapannya. Lalu, mereka mencoba mencari kesibukan lain, mengabaikan keberadaannya.

"Loh, Haekal? Ngapain kamu di sini? Sana masuk, masih jam pelajaran, loh ini!"

Anggara berbalik, menemukan lelaki dengan tumpukan buku di tangannya. Si penjaga perpustakaan itu.

Naka mengarahkan bola matanya pada pintu kelas, meminta Haekal untuk segera masuk dan mengikuti pelajaran. Namun, Naka dibuat melongo saat Anggara berjalan melintasinya, bahkan menyenggol bahunya. Membuat buku novel terjemahan di tangannya itu berjatuhan. "Catatan lagi ini, Bu Ola harus lihat ini," gumam Naka sambil mencatat nama Haekal pada bukunya.

Sun with (out) Moon | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang