07. Mengalah

39 3 0
                                    

❝Aku ingin sekali melindungimu setiap waktu. Sayangnya, aku tidak bisa melakukannya.❞

☀️ & 🌙

Sun with (out) Moon|Mengalah

☀️ & 🌙

Sebenarnya, Anggara tidak tega jika harus menyiksa Dewa. Sungguh, ia tidak mengharapkan semua itu. Ia ingin berdamai—jika takdir mengizinkan. Sama sekali ia tidak ingin melihat Dewa babak belur dan terkulai lemas di lantai karena perbuatannya. Namun di lain sisi, ia tak pernah menginginkan keberadaan Dewa di hidupnya.

"Anggara, tadi udah ketemu sama Papa? Papa habis dari kota mana? Papa pasti capek, Angga. Kamu pijitin Papa, ya? Mama mau bikin kue buat persiapan lebaran."

Anggara juga lelah menemukan ibunya dengan keadaan seperti itu. Setiap hari. Selamanya. Kini, Shena melakukan kebiasaannya sehari-hari, membuat dapur berantakan penuh dengan tepung dan telur yang tersebar tak beraturan. Yang pada akhirnya, nanti Dewa yang membersihkan. Ia mendekati Shena, lalu merebut tepung dari tangan sang ibu. "Mama mending tidur aja. Papa udah meninggal, Ma! Sepuluh lebaran lebih kita nggak ada Papa di sini!"

Lalu, Shena tertawa. "Angga habis bangun tidur, ya? Ih, kamu ngelindur kali. Kemarin Papa bilang pulang hari ini buat lebaran sama-sama. Udah, biarin Mama bikin kue. Nanti jangan kasih tau Papa, ya. Kita bikin kejutan," kata wanita yang kehilangan seluruh akal sehatnya itu.

Anggara mengepalkan kedua tangan, menahan amarahnya yang meletup-letup kala mengingat semua hal yang membuat Shena seperti ini, yang membuat segalanya menjadi berubah.

"Dewa? Ngapain berdiri di situ? Kamar Mama udah dibersihin?"

Dewangkara tersenyum miris, Shena tak pernah memperlakukannya sama seperti Shena memperlakukan Anggara. "Kamar Mama masih rapi kok, Ma." Lelaki itu mencoba untuk bertahan saat badannya ingin ambruk saja, berjalan perlahan menuju Shena, hendak membantu ibunya.

"Oh, iya." Shena meringis, lalu menepuk jidatnya berlagak seperti orang yang melupakan sesuatu. "Lebaran bentar lagi tiba, jadi Mama nggak berantakin kamar, nanti Papa marah sama Mama, hehe."

Dewa masih menatap Shena dengan tidak tidak percaya, merasa prihatin dan turut iba dengan kondiri Shena yang terus seperti ini. Sama seperti dirinya. Akan terus seperti ini, sampai Anggara membunuhnya.

"Kalau gitu, Dewa bantuin Mama, ya? Mbok Bina pernah ngajarin Dewa bikin kue, Ma," pinta Dewa dengan suara yang dibuat-buat untuk menyenangkan Shena. Namun, selalu saja respon ibunya itu masih sama. Alih-alih mengizinkan Dewa bersamanya, Shena justru mengacungkan pisau yang baru saja ia gunakan untuk membuka bungkus mentega.

"Eits, ngapain deket-deket Mama, ha?"

"Ma-mau bantuin Mama, lah." Dewa tersenyum miris, meratapi perbuatannya yang meladeni orang gila di depannya.

"Nggak usah! Cuma Anggara sama Papa yang boleh deket-deket Mama. Kamu diem di sana!" Shena terbahak-bahak, membiarkan pisau di tangannya itu menghunus hati Dewa yang telah terluka sejak lama. Lelaki itu meneteskan air mata, merasa tidak kuat dan muak dengan keadaan ini.

"Anggara, sini deh. Tadi udah ketemu sama Papa, 'kan? Sekarang bantuin Mama bikin kue, yuk!"

Yang dipanggil Shena itu masih terdiam di tempatnya, tak menggerakkan kaki sama sekali. Bahkan, ia tetap tak berkedip. Sampai pada akhirnya, Mbok Bina yang baru saja datang dari kebun itu memekik terkejut kala tubuh Haekal ambruk pada atas lantai dapur yang dingin.

Sun with (out) Moon | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang