Ayunan sore.

503 75 3
                                    

Jarum jam menunjukan pukul tiga lebih dua puluh menit saat Sunghoon mengeluarkan sepeda dari garasi rumahnya. Seperti yang sudah ia rencanakan dengan Sunoo tadi siang, setelah berhasil mendapat ijin dari Mamanya untuk pergi bermain, Sunghoon bergegas untuk berangkat ke rumah Sunoo yang hanya berjarak enam rumah dengan menaiki sepeda biru tuanya.

Baru saja ia hendak mengayuh pedal sepeda, Sunoo sudah lebih dulu muncul dihadapannya.

“Sunghoon! STOP! Mau kemana? Kan aku udah bilang kalau hari ini giliran aku yang samperin kamu!” Sunoo bersedekap, lantas ia melongok ke dalam rumah Sunghoon.

“Kamu udah diijinin Mama Sowon? Boleh main?”sambung Sunoo, bertanya.

Sunghoon menjawabnya dengan anggukan cepat, senyumnya ikut mengembang tatkala Sunoo merespon anggukannya tadi dengan senyum khas-nya.

“Yuk, naik sepedaku. Kita main di taman komplek kayak biasa, ya?” ujar Sunghoon.

“Oke.”

Kedua bocah itu berboncengan menuju taman, sesekali menyapa tetangga yang mereka kenal di sepanjang blok komplek rumah mereka, mengulas senyum bagi siapapun yang melihatnya pasti akan tertular oleh senyum itu.

Setibanya di taman, Sunghoon memarkirkan sepedanya. Keduanya berlarian menuju ayunan di sebelah gazebo kecil yang biasa mereka kunjungi.

“Sunoo! Sini aku ayunin!”Sunghoon menunjuk ayunan tunggal di depannya.

Yang dipanggil segera menurut, duduk di atas ayunan itu, kakinya menggantung, tidak sampai pada tanah, maka dari itu, ia perlu bantuan Sunghoon untuk mengayunannya.

“Jangan kenceng-kenceng! Nanti aku pusing.”

“Iya iya, udah siap, kan?”

“Udah!”



“Sunghoon, aku laper.” celetuk Sunoo disela permainan mereka.

“Emang kamu tadi nggak makan dulu?” Sunghoon menghentikan ayunannya, beralih duduk di ayunan sebelah Sunoo.

Sunoo mengendikkan bahu, “udah sih. Tapi kan masih laper!!”

“Dasar perut karung!”

Bibir Sunoo mengerucut, pipinya menggembung, membuat siapapun tak tahan untuk mencubitnya, atau sekedar menoel pipinya.

Sama hal nya dengan Sunghoon, ia spontan menusukan telunjuknya pada pipi Sunoo, sedangkan sang empu malah semakin mendelik.

“Tuh liat, kamu kalau kebanyakan makan nanti pipinya dower, trus bakal aku cubitin terus, emang kamu mau?” tutur Sunghoon.

Sunoo menggeleng, “mana ada pipi dower! Ini namanya chubby. Justru kalau pipi aku sering kamu cubit, nanti jadinya dower! Jadi, stop cubitin pipiku!”

Yang lebih tua tidak menanggapi, asik melihat sekelilingnya, matanya menangkap sebuah warung tenda dengan lemari pendingin di ujung taman.

“Beli es krim, mau nggak?” tawarnya pada Sunoo.

“Emang kamu bawa uang?” Sunoo bertanya balik, separuh hatinya senang, separuhnya lagi cemas karena ia tak membawa uang sepeserpun.

“Bawa kok, dikit sih, tapi cukup buat beli dua es krim. Yuk?” Tangan Sunghoon meraih tangan Sunoo, keduanya berjalan beriringan dengan wajah sumringah menuju penjual es krim, lantas mengambil dua cone es krim dan membayarnya dengan uang pas-pasan milik Sunghoon.



“Makasih, Sunghoon! Habis ini, kamu boleh cubit-cubit atau toel-toel pipiku lagi, tapi pelan aja, ya!”

InnocentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang