Bagian 4

23 18 3
                                    

Aku berjalan lesu di koridor kampus, kejadian kemarin membuatku shock. semalaman aku tidak bisa tidur karena laki-laki aneh yang mengaku sebagai hantu terus saja berada di rumahku. ia terus saja memintaku menjadi  temannya, ia juga mengoceh tentang perjalanannya menjadi hantu. Telingaku terasa panas. Aku juga takut, bukan takut karena dia hantu tapi takut dia berbuat sesuatu padaku. maksudku perbuatan... emm... yang tidak senonoh begitu. semalaman aku terus menahan napas, merapatkan selimutku agar tidak satupun yang terlihat oleh laki-laki itu. laki-laki kan mata keranjang. lihat sedikit tubuh wanita langsung, matanya berbinar. seperti melihat makanan enak. Huh.

   oya, nama pria itu siapa ya? Aarav... emm ... apa ya?

   "Kau sedang memikirkanku, safa?" seseorang berbisik lembut di telingaku, sontak aku berbalik.

    "kau?!" aku melotot.

    "namaku Aarav Adelio, bukan 'kau' ...," kata kata Aarav Adelio yang sekarang sudah berada tepat di hadapanku, "kau terkejut ya? Tidak usah terkejut, kan sudah kubilang sebelum kau setuju jadi temanku... aku akan terus mengikutimu. Aku ini hantu, jadi bisa dengan mudah menemukanmu." dia mengedipkan mata seraya tersenyum tipis. Senyumnya lumayan manis. Eh, apa yang kupikirkan?

   "Tapi aku tidak mau jadi temanmu. jadi, lebih baik kau cari orang lain saja!" tegasku seraya melanjutkan langkahku.

   "Tapi... tidak ada yang bisa melihatku selain dirimu, safa. Aku berharap kau mau menjadikanku teman. Aku juga tidak tahu kenapa hanya kau yang bisa melihatku. Mungkin saja kau punya indra keenam? Atau... kita memang audah ditakdirkan bertemu?" cerososnya sambil mengikutiku. Aku menoleh ke arahnya, memasang tatapan setajam mungkin agar terkesan galak

   "Takdir? lebih baik aku mati dari pada harus ditakdirkan bertemu dan berteman Dengan hantu. Bisa-bisa aku dianggap gila," kataku tegas. Ya, lebih baik aku mati dari pada seumur hidup Aku di anggap orang gila. Diledek dan diejek. Aku tidak bisa membayangkan hari-hariku yang kelam jika aku berteman dengannya. Lagi pula sejak dulu aku berniat ingin mati.

   Aarav Adelio menghentikan langkahnya, dan entah kenapa langkahku pun otomatis terhenti. Dia balas menatapku, tapi tatapannya begitu teduh dan sendu.

   "Mati? kenapa kau pilih mati? mati itu... tidak mengenakan. Apalagi jika kau mati mendadak tanpa sempat melakukan apa yang ingin kau lakukan, lalu kau menjadi roh gentayangan tanpa sanak saudara. kau sendirian. Kau bisa melihat orang yang kau cintai tapi kau tidak bisa menyentuhnya, dan tidak bisa bicara dengannya. Rasanya... benar-benar menyakitkan."

   Degh. jantungku berhenti berdegup. kata-kata Aarav Adelio tadi menusuk hatiku. Raut wajahnya berubah sedih, matanya berkaca-kaca.

   "Safa!!!" panggil seseorang dari belakangku, aku langsung menoleh tanpa sempat meneruskan kata-kataku. Ternyata sarah, sahabat karibku, dia berlari-lari kecil menuju kearahku.

   "Ck, kau ini tega yah, sejak tadi aku memanggilmu tapi kau tidak menoleh. Suaraku sudah hampir hilang," gerutu sarah ketika sudah ada di hadapanku. ia memegangi tenggorokannya.

   "Haha...  maaf, aku sedang berbicara dengan seseorang," kataku Seraya terkekeh, dan melirik pada Aarav Adelio, laki-laki itu ternyata sedang menatapku.

   "Aku pergi!" ucapnya pelan, dan kemudian menghilang dari pandanganku.

   sarah mengerutkan keningnya, dan berkata, "bicara dengan seseorang? siapa?"

   "Emm... entahlah," jawabku asal, lalu melingkarkan tanganku di tangannya. "Ayo kita ke kelas!" ajakku pada sarah.

   Benarkah mati itu tidak enak? Tapi, aku ingin mati. Mungkin dengan begitu aku tidak perlu lagi mengingatnya, tidak perlu lagi menahan rindu yang semakin menyesakkan ini. Bisakah kita bertukar tempat Aarav Adelio?

   "Kau tidak tahu apa-apa, safa. kau tidak mengerti." suara Aarav Adelio terdengar jelas di telingaku. Ah, bukan di telinga, tapi dipikiranku. Tapi... kenapa bisa?.

kau dan aku adalah takdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang