h a l a m a n
rumahBerisik. Adalah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana halaman rumahku saat ini. Hiasan panggung yang penuh corak dan warna, meja dan kursi yang ditata sedemikian rupa, remaja seumuranku yang sedang bernyanyi, para tetangga di sekitar perumahan yang sedang menyantap hidangan. Dan juga seorang badut.
Pesta ulang tahunku dan kembaranku, Rina, yang ke tujuh belas. Aku tidak tahu apakah terlahir kembar adalah anugrah atau justru kutukan bagiku. Karena yang aku tahu, semua orang di dunia ini, hanya akan melihat Rina yang sempurna. Tanpa peduli dengan Bina, seorang gadis yang dianggap tidak normal. Aku sendiri tidak pernah tahu mengapa mereka berpikir begitu.
"Bina, sungguh Ibu tidak pernah pilih kasih di antara kamu dan Rina. Ibu hanya ingin memberikan yang terbaik."
"Bina, kamu hanya perlu belajar dengan rajin dan tetap di dalam rumah. Dengan itu saja Ayah sudah sangat bahagia, Nak."
Aku muak. Mereka mengurungku seakan aku adalah hewan peliharaan yang penuh dengan batasan. Bina tidak boleh ini, Bina tidak boleh itu, Bina jangan ke sana, Bina jangan ke situ. Kenapa hanya aku? Kenapa Rina tidak? Bukankah kami saudara kembar? Bukankah aku juga manusia sama seperti dirinya?
Dan, lihatlah sekarang. Rina berdiri di atas panggung dengan gaun merah mudanya yang indah. Di sebelahnya ada Ayah dan Ibu, juga memakai baju yang senada dengan Rina. Ada sebuah kue berukuran cukup besar di depan mereka.
Semua orang tertawa dan bertepuk tangan saat Rina menyuapkan potongan kue ke mulut Ayah. Dan Ayah dengan sengaja mengoleskan sedikit krim ke puncak hidung Ibu.
Aku tersenyum simpul di balik jendela kamarku. Sungguh keluarga yang harmonis.
Dua tahun yang lalu, aku menangis sendirian di kamar ini. Setelah aku menyadari bahwa Ayah berbohong. Bahwa aku tidak sedang bersembunyi untuk sebuah kejutan besar, melainkan aku tidak boleh hadir di acara pesta ulang tahunku sendiri.
Sampai, saat aku menangis meringkuk di atas ranjang dengan kepala yang kututup dengan bantal. Seseorang menepuk pelan bahuku.
Saat itulah aku melihatnya untuk pertama kali. Anak laki-laki dengan kemeja cokelat polos dan celana hitam biasa. Rambutnya hitam kecokelatan, kulitnya putih bersih, bola matanya cokelat terang, dan di pergelangan tangannya melingkar arloji senada dengan warna bajunya.
Terlonjaklah aku menyadari dia sungguh berada di kamarku. Sementara saat itu, ia tersenyum, senyuman yang hangat dan tulus. Perlahan ia menuntunku untuk duduk, ia mengusap-usap pelan bahuku. Seketika aku merasa begitu tenang. Bahkan, kesedihan karena dibohongi Ayahku sudah menguap entah ke mana.
"Kamu sudah bersiap, kenapa tidak ikut bergabung dengan keluargamu?"
"A-aku tidak boleh bergabung," ucapku pelan. Dia masih memandang kedua mataku lekat. "Jika aku ke sana, mereka ... mereka akan berteriak dan marah padaku."
"Kalau begitu, biarkan aku menemanimu di sini."
Dia tersenyum dan aku baru menyadari kalau anak laki-laki ini tetaplah orang asing yang tiba-tiba berada dalam kamarku. Lantai dua rumah ini. Satu-satunya ruangan yang tidak boleh dikunjungi sembarangan orang. Aneh, kenapa dia bisa masuk?
"Siapa kamu?" pertanyaan yang seharusnya aku ajukan sedari tadi.
"Aku?" anak lelaki itu menunjuk dirinya sendiri. Lalu ia mengulurkan tangannya, tersenyum lebar sekali. "Kamu bisa memanggilku, Andrea. Dan aku akan memanggilmu... Bina si Imut."
Dua tahun lalu. Sejak saat itulah aku resmi menjadi temannya. Kami bermain hampir setiap hari. Terkadang di rumahnya yang berada di seberang jalan, terkadang di kamarku, di halaman rumah, di taman, dia selalu berhasil membawaku keluar dari rumah ini dengan aman. Tanpa diketahui siapa pun.
Dan Andrea berjanji, ia tidak akan membiarkan aku menangis dan merasa kesepian di hari ulang tahunku. Dia akan memberiku hadiah istimewa, dan membuatku bahagia. Itulah janjinya.
• • •
Aku berdiri menatap rumah di seberang jalan, rumah Andrea. Rumah besar yang terlihat tak terawat, namun, siapa sangka ada pemuda bak pangeran yang tinggal di sana?
Seperti tahun sebelumnya, Andrea menemuiku dengan hadiah dan senyum hangatnya. Kali ini, ia memberiku liontin. Terlalu indah untuk dipakai gadis yang berparas biasa-biasa saja sepertiku.
"Bina si Imut, liontin ini untukmu. Di masa depan, jika kita terpisah, kamu tetap tidak boleh melepaskannya. Mengerti?" Andrea berbisik di telingaku saat memakaikan liontin itu.
"Kita tidak akan terpisah, Andrea." Aku menatap kedua netra cokelat terangnya yang tertimpa sinar rembulan.
"Ya, tidak akan," Andrea mengusap bahuku, "karena aku akan selalu ada di sisimu. Kamu merasakan itu, bukan?"
Aku memeluknya. Dan aku berjanji tidak akan melepaskan liontin ini, apapun yang terjadi.
• • •
"Lho, Bina? Kamu bukannya tadi pergi ke toko berlian sama Ayah?"
Aku menatap Ibuku, bingung. Kapan aku keluar dari kamar ini? Tapi, karena tidak mau memperpanjang percakapan, aku mengangguk. "Aku sudah pulang."
"Bina, liontin itu..." Ibu menatap leherku, reflek aku tersentak karena tiba-tiba bayangan Andrea yang memakaikan liontin itu terlintas di kepalaku. "Kamu membelinya bersama Ayah?"
"Tidak, Ibu. Liontin ini dari pacarku."
"Pacar siapa?"
"Pacarku, Andrea. Rumahnya ada di seberang jalan. Dia menemuiku setiap hari, dan memberiku hadiah. Dia selalu tersenyum dan aku sangat mencintainya."
Aku tersenyum, Ibu terlihat terkejut. Tapi kemudian ia mendekat dan berlutut di depanku yang sedang duduk di sofa kamar. "Tapi, Nak, tidak ada siapa pun yang menghuni rumah di seberang jalan itu."
"Ah?" Aku tidak bisa menahan tawaku. "Ibu, ada pangeran yang tinggal di sana dan Ibu tidak tahu? Sebenarnya siapa yang terkurung di sini?"
Tiba-tiba Rina masuk. Ia menuntun Ibu agar berdiri. Saudara kembarku ini, tidakkah ia sibuk mebuka kado dari teman-temannya? Untuk apa datang kemari.
"Bina, siapa nama pacarmu itu?"
"Bukan urusanmu."
"Bina, aku mohon."
"Andrea. Andrea Srinarendra."
Lalu, entah mengapa, Rina segera menarik Ibu keluar dari kamar dengan tergesa. Samar-samar aku dapat mendengar apa yang dikatakan Rina setelah ia menutup pintu.
"Ibu, Andrea yang dimaksud oleh Bina adalah anak laki-laki yang ditemukan tewas dengan luka lima tusukan pada lehernya di halaman rumah kita dua tahun yang lalu. Tepat saat hari ulang tahun kami. Ibu ingat?"
"Ya, bagaimana Ibu bisa lupa kejadian itu? Bina yang membunuhnya."
• • •
E N D958 kata.
YOU ARE READING
tangga rumput
Short Storysehimpun cerita pendek yang terinspirasi dari salah satu bab dalam buku "Bukan Kepala yang Kehilangan Rambut". [ tangga rumput - Bab 3 ] Halaman rumahku adalah telaga darah berwarna ungu. Baunya seperti ingatan masa lalu yang kau coba kubur secara...