“Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku kesini. Tempat ini jadi seperti kandang babi.”
“Heh, mulutmu!”
Pemuda itu bersungut-sungut, berjalan mendahului lelaki kecil yang kini tengah menelisik sebuah sangkar burung yang mangkrak di pojok ruangan. Sangkar itu terbuat dari kayu dengan ukiran indah yang terkesan mahal meski sudah berlapis debu dan sarang laba-laba.
“Kak. Kalau saja kita tidak pindah, sangkar burung ini tidak akan sia-sia, aku bisa mengurung Hemer di dalamnya.”
“Kucing baumu itu?”
“Sebut namanya dengan penuh wibawa, Kak Nugu! Namanya H.E.M.E.R. dan dia bukan kucing bau!”
Nugu memandang adiknya itu dengan mata memicing, jelas-jelas kucing itu bau. Nugu selalu bersin-bersin setiap kali berada dekat dengannya. Siapa tadi namanya? Henger? Hender? Ya Tuhan, Nugu sungguh tidak peduli.
Nugu kembali menelisik setiap barang yang masih berada di rumah ini. Sebuah rumah yang sudah lama tidak berpenghuni. Nugu dan keluarganya memutuskan untuk pindah lima tahun yang lalu. Alasannya adalah Ayah mereka yang harus mengikuti perintah atasannya untuk pindah ke kota lain. Nugu, Ibunya, dan Wangga—adik Nugu, meninggalkan segala hal yang telah mereka mulai di kota ini. Termasuk meninggalkan orang-orang, kenangan-kenangan, dan banyak hal yang awalnya terasa berat untuk mereka lepaskan. Jika ada hal yang bisa mereka bawa dari rumah ini, itu adalah Hemer. Kucing ajaib Wangga yang sudah menemani keluarga mereka sejak Wangga lahir.
Namun seiring berjalannya waktu, bergantinya hari, kenangan-kenangan baru telah kembali terukir. Nugu dengan sekolah dan kisah asmaranya, Ibu dengan segala dedikasi dan rasa tulusnya untuk selalu menemani suaminya, dan Wangga dengan segala keajaiban dan dunia yang hanya dia yang mengerti.
“Kamu sungguh ingin menempati rumah ini lagi, Kak?”
“Ya. Kenapa?”
“Tapi rumah ini sepertinya sedikit aneh. Rumah ini terasa bukan lagi rumah yang sama yang dulu kita tinggalkan.”
“Kamu sebenarnya ingin bicara apa, Wangga?”
“Kakak sungguh tidak melihatnya?”
Nugu melipat dahi. Berjalan ke arah adiknya yang kini tengah berdiri di tengah-tengah ruangan. Kepalanya mendongak menatap sekeliling.
“Melihat apa, Wangga?”
“Kak Nugu. Darah.”
“Darah?”
“Ada noda darah di setiap benda yang tertinggal di rumah ini, Kak. Termasuk lantai pualam dan atap-atap rumah. Penuh dengan noda darah yang sudah mengering. Mengerikan sekali.”
Nugu ikut menatap sekeliling. Sedari tadi dia sudah memeriksa semua barang yang ada di rumah ini, termasuk yang berada di lantai dua. Bahkan di ruang bawah tanah, tempat keluarga mereka dulu menggunakan ruangan itu sebagai gudang.
Tetapi Nugu sama sekali tidak menemukan atau melihat darah, hal yang dikatakan adiknya itu.
Darah apa yang dimaksud Wangga?
“Kalau yang kamu maksud adalah darah milik para tikus, Wangga, aku betulan akan menyuruhmu pulang sekarang juga!”
“Astaga, darah tikus apa sih, Kak? Kamu sungguh tidak melihatnya? Baiklah, kalau kamu tidak bisa melihatnya, itu berarti bukan darah biasa.” Wangga memelankan suaranya di akhir ucapan. Sementara Nugu menatap adiknya dengan kesal.
“Berhenti bercanda, Wangga. Aku mengajakmu ke sini untuk membantuku membersihkan rumah ini yang akan aku tempati dengan kekasihku. Kalau kamu memang tidak berniat membantu, bilang dari awal. Aku bisa membereskannya sendiri. Ayo, kuantar kamu pulang.”
YOU ARE READING
tangga rumput
Short Storysehimpun cerita pendek yang terinspirasi dari salah satu bab dalam buku "Bukan Kepala yang Kehilangan Rambut". [ tangga rumput - Bab 3 ] Halaman rumahku adalah telaga darah berwarna ungu. Baunya seperti ingatan masa lalu yang kau coba kubur secara...