Five

442 62 13
                                    

Hal pertama kali yang Haechan rasakan adalah bau obat-obatan yang sangat di bencinya. Mata lelaki manis itu mengerjap beberapa kali guna membiasakan cahaya yang masuk ke dalam retinanya. Setelah penglihatannya sudah jelas, netranya mengedar, melihat ruangan serba putih dan asing.

Bola matanya berhenti bergerak kala menemukan sesosok lelaki sedang duduk di sofa sudut ruangan. Kemudian setelah dia sadar ada yang memperhatikan, lelaki itu berjalan menghampiri brankar Haechan.

"Melewati makan malam dan tidak sarapan pagi ini ketika kau memiliki jadwal padat. Kau pikir kau ini pengangguran?"

"Mark?" Suara Haechan terdengar serak. Yang dipanggil tidak menyahut. Lantas Haechan kembali melanjutkan ucapannya. "Bisa jelaskan apa yang terjadi?"

Mark menatap Haechan sinis, "tidak. Kau bisa mengingatnya sendiri." Lelaki tampan bersurai hitam itu mengecek arlojinya. "Karena kau sudah sadar, aku akan pergi."

Buru-buru Haechan menahan pergelangan tangan milik Mark. "Kau yang membawaku kesini?"

"Ya."

"Kenapa, Mark?"

"Kenapa? Aku bukanlah manusia tanpa hati yang membiarkan orang pingsan begitu saja, Haechan. Jangan pernah berpikir jika aku membawamu kesini karena khawatir. Karena itu tidak akan pernah terjadi."

Kalimat barusan agaknya menohok Haechan. Tetapi ia berusaha tersenyum, "apapun alasannya aku harus berterima kasih, bukan? Jadi, terima kasih karena sudah mau membawaku ke rumah sakit."

"Hm. Aku pergㅡ"

"Sebagai ucapan terima kasih, bagaimana jika kita makan malam bersama? Aku akan menanggung semua biayanya."

Seringai tipis muncul di sudut bibir Mark, ia berdeham sekali sebelum benar-benar pergi meninggalkan Haechan di dalam kamar inap.

'Bahkan aku tidak perlu repot-repot untuk mengajakmu bermain, Haechan. Kau sendiri yang melemparkan diri padaku.'

•••

Bukan karena Haechan masih mengharapkan eksistensi seorang Mark Lee di dalam hidupnya. Mungkin iya, sedikit. Tetapi tujuan yang paling utama adalah berdamai dengan masa lalunya.

Bisa dibilang saat ini Haechan masih mengalami krisis identitas. Ia tidak tahu harus bersifat baik kepada Mark yang terlihat memusuhinya atau malah sebaliknya. Haechan akui jika ia di masa lalu lebih jahat kepada Mark. Tapi jujur saja Haechan tidak siap untuk menerima karma yang seperti ini.

Jika boleh memilih, lebih baik ia kehilangan kedua orang tuanya daripada Mark. Sounds crazy, right? Haechan tidak munafik jika ia bukanlah manusia beriman dan pemaaf. Pun dengan kedua orang tua Haechan yang selama ini sudah memperlakukannya bak boneka. Bedanya tidak ada pukulan atau makian. Hanya ada tekanan melalui doktrin yang mereka berikan kepada Haechan sejak ia masih berusia 6 tahun.

"HAECHAN!"

Saat sedang asik melamun, sebuah suara membawa kesadaran Haechan kembali. Ia bisa melihat Renjun masuk ke dalam ruang inap Haechan sambil berlari heboh.

"Kau ini, bisa tidak sih berhenti membuat orang-orang khawatir?!"

Haechan hanya tertawa tanpa berniat menanggapi. Ia melihat dua orang lagi berjalan santai.

"Ningning! Chenle!" Haechan memekik ketika melihat kedua sahabatnya juga ikut menjenguk.

"Kenapa hanya aku yang tidak di sapa?" Renjun cemberut, tangannya menaruh bucket bunga dan parcel buah di meja.

"Aku bosan. Hei kalian berdua, ayo peluk aku!"

Ningning memeluk Haechan terlebih dahulu, "bayi beruangku, berhentilah membuat kami khawatir."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 27, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

When The Demons Come ⭑ MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang