Part 2

2 2 0
                                    

Happy reading

*

Beberapa saat aku hanya diam menatap tautan tangan Raka yang belum terlepas. Otak ku masih mencerna kalimat yang barusan dia ucapkan. Berusaha membedakan apakah semua ini nyata atau hanya halusinasi belaka.

"Raka, lo... ada yang aneh sama lo."

Kernyitan samar muncul di dahi Raka, "maksudnya?"

Aku sedikit berdeham setelah melepaskan pegangan tangan Raka dari tanganku.

"Lo ngga kayak Raka yang biasanya."

"Emang Raka yang biasanya itu gimana?" Senyum miring tercetak di wajah tampannya.

Ditanya seperti itu malah membuatku merasa salah tingkah. Merasa bingung bagaimana menjabarkan keanehannya.

Oke, mari kita list keanehan Raka sekarang :

1. Hampir tga tahun kita sekelas, tidak pernah sekalipun dia mengajak untuk pulang bersama. Ya... walaupun saat ini kita hanya jalan bersama ke gerbang depan, tapi kurasa hal itu menjerumus ke keanehan Raka hari ini.

2. Hampir tiga tahun kita sekelas, tidak pernah sekalipun kita terlibat obrolan sepanjang ini. Entah aku atau dia pasti akan segera mengakhiri pembicaraan dengan berbagai alasan.

3. Dan yang terakhir, skinship. Pegangan tangan yang cuma sebentar tadi bisa dibilang skinship kan?

Aku bukanlah gadis polos yang tidak tahu maksud 'mengenal lebih jauh' yang Raka utarakan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu. Hanya saja yang membuatku bingung saat ini adalah, kenapa tiba-tiba?

Tiiiinnnnnnnn tiiiinnnnnnn!!

Suara klakson yang memekakkan telinga membuatku tersentak kaget. Pengemudi mobil yang terparkir di luar gerbang dengan nomor plat yang ku hapal di luar kepala itu terus membunyikan klakson tanpa henti.

"Raka maaf, gue duluan ya. Abang gue udah nungguin." Tanpa menunggu balasan Raka, aku langsung berlari menghampiri Bang Hesta.

"Lima menit empat puluh dua detik. Waktu gue yang berharga terbuang sia-sia karna harus nungguin lo pacaran!" Protes Bang Hesta menyambut kedatanganku.

Raut wajah masam Bang Hesta menunjukan bahwa dia benar-benar kesal padaku.

"Maaf." Kataku disertai senyuman canggung, "Gue traktir es krim mau?"

"Lo pikir gue anak kecil?!"

"Ya udah, sih. Ngga usah nge gas!" Balas ku sedikit keras.

"Kok lo jadi nyolot, sih?!"

Telinga ku terasa tertusuk oleh nada bicara Bang Hesta yang naik beberapa oktaf, sehingga membuat emosiku ikut tersulut. Dan, yah. Adu mulut pun tak bisa terelakkan.

"Lo duluan yang mulai, ya!"

"Lo duluan yang bikin gue nunggu lama!"

"Ya udah iya maaf!"

"Kalo ngga ikhlas ngga usah minta maaf!"

"Ih!" Aku bertanya dengan nada lembut dan diakhiri dengan senyum paksa, "terus mau lo apa?"

Hufftt! Aku mencoba mengalah dengan berusaha menekan egoku. Kalau tidak begitu, aku yakin perdebatan ini tidak akan berakhir sampai besok.

Bang Hesta mulai memutar kemudinya membelah jalan raya sore ini yang terasa lebih ramai dari biasanya. Butuh waktu tiga puluh menit perjalanan menempuh jarak dari sekolah ke rumah. Itupun kalau jalan sedang lancar. Kalau seperti ini, bisa ku perkirakan jika kita akan sampai beberapa menit lebih lambat.

"Itu tadi beneran pacar lo?"

Dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya Bang Hesta mencoba membuka pembicaraan. Sudah terbiasa bagi kami untuk cek cok saling adu argumen karena kita sama-sama tidak mau kalah. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama. Beberapa menit kemudian kita akan kembali damai seperti tidak pernah terjadi apapun.

Ku rasa tidak hanya aku dan Bang Hesta yang begitu, bukan?

Mata ku melirik sekilas ke arah Bang Hesta yang masih fokus menyetir, "bukan, dia cuma temen sekelas gue. Kenapa?"

Bukannya menjawab dia malah balik bertanya, "temen macam apa yang pake pegangan tangan segala?"

"Emm ngga macam-macam, sih. Kan cuma satu macam."

Jawaban ku yang mungkin terdengar sedikit ngawur di telinga Bang Hesta mengundangnya untuk menoyor kepalaku.

"Kepala gue masih dipake, woy!" Karena tidak terima akhirnya aku membalas dengan memukul lengannya keras. Ku biarkan dia mendesis kesakitan akibat pukulan yang ku yakini akan meninggalkan bekas kemerahan.

"Masih kecil kagak boleh pacaran lo!"

"Iyaa tau, Bang Hesta ku tersayang."

Dengan setengah mencibir Bang Hesta berkata, "alay lo!"

Beberapa saat kemudian, kami sampai di perempatan terakhir sebelum sampai pada portal masuk komplek. Laju mobil Bang Hesta mulai melambat saat lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah.

Lelah berdebat, aku memilih diam sambil menatap situasi jalan sore ini. Seorang pengendara sepeda motor yang berhenti di sebelah kiri ku membuatku sedikit terkejut.

Bukan! Bukan! Bukan terkejut karena kehadirannya yang tiba-tiba, tapi aku terkejut karena pengendara itu adalah orang yang aku tahu.

Ya, dia adalah adek kelas penggulung kabel saat upacara tadi siang. Melihat laki-laki manis itu lagi dengan jarak yang cukup dekat, entah mengapa membuat kedua sudut bibirku tertarik membentuk senyuman kecil. Untung saja kaca mobil Bang Hesta ini gelap, sehingga dia tidak akan tahu ada seseorang yang sedang menatapnya dari dalam.

Dia kembali melaju lebih dulu setelah lampu lalu lintas berubah hijau. Senyumku tak kunjung luntur meskipun dia sudah tak terlihat tertutup kendaraan lain.

"Kenapa lo senyum-senyum sendiri?" Kedua alis Bang Hesta berkerut heran.

"Hehehe. Gapapa kok, Bang."

*

Vote dan komennya jangan lupa :)



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hello GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang