AUTHOR SIDE
Tiga minggu setelah mengetahui nama Ardan—Nadine memutuskan untuk memanggilnya begitu—, perempuan yang kini mengenakan kemeja putih berlapis vest itu tetap menjaga jaraknya dengan Ardan. Entahlah, ia hanya ragu ingin mengajak bicara. Toh, sampai saat ini memang tidak ada kepentingan yang mengharuskannya memulai pembicaraan atau minimal perkenalan resmi dengan lelaki itu. Walaupun sebenarnya, dia sangat ingin mengetahui lebih dekat sosok Ardan.
Selama tiga minggu perkuliahan itu pula, Nadine dapat menilai kalau Ardan bukan tipe lelaki yang banyak bicara. Ia lelaki cerdas yang tidak terlihat berlebihan dalam menunjukkan kapasitas otaknya. Ia berpendapat ketika ia ingin. Dan bertanya mengenai sesuatu ketika ia memang tidak tahu. Bukan lelaki pencari muka di hadapan dosen, singkatnya.
Dari caranya berpakaian, Ardan selalu terlihat rapi dan tidak berlebihan. Sepertinya, Ardan memang tidak terlalu senang menjadi pusat perhatian. Walaupun dengan wajah tampannya itu, kedengaran mustahil jika dia tidak dipandangi orang banyak.
Oleh karena itu, Nadine diam. Ia memilih untuk memendam keinginannya sendiri. Banyak keraguan dan ketakutan dibalik bungkamnya. Ia bisa melihat selama hampir sebulan ini, tidak ada yang benar-benar ingin menjadi teman dekatnya, kecuali Tere dan Deva. Kebanyakan teman sekelasnya hanya datang sejenak untuk berkenalan dan bertukar akun sosial media, entah sekedar panjat sosial atau murni berteman saja. Yang jelas kondisi itu jadi membuat Nadine benci dan minder sendiri.
Ia dikenal sebagai Nadine, anak yang cantik di jurusannya atau anak yang followers Instagram-nya banyak banget. Bukan sebagai Nadine yang juga cuma manusia biasa. Bukan karena sifat atau keaktifannya di kelas. Karenanya, Nadine takut sekaligus benci.
Takut kalau ternyata Ardan juga menilainya begitu, sebatas itu. Takut kalau Ardan juga tidak berminat berteman sungguhan dengannya. Takut kalau ternyata lelaki itu tidak sebaik yang ia bayangkan. Karenanya, untuk kali ini Nadine memilih menunggu sampai semesta memberinya peluang.
Bicara tentang Deva, Nadine bisa cukup dekat dengan lelaki itu karena mereka pernah berada di kelompok yang sama untuk mata kuliah Ekologi dan Estetika Hutan. Seperti dugaannya, Deva itu berisik abis. Dia senang memulai percakapan dan tidak pernah kehabisan ide untuk membuat suasana menjadi seru. Entah dengan bahan gosip hasil julid yang dibawanya entah darimana atau bahkan tebak-tebakan receh ala bapak-bapak.
Nadine menaikkan kacamata yang dikenakannya. Kebiasaannya melamun saat sedang sendirian memang tidak bisa dikendalikan. Tere sedang izin tidak masuk kelas saat ini karena demam tinggi. Ruangan itu sudah sepi, sebab kelas sudah berakhir kira-kira 15 menit yang lalu. Tapi Nadine memilih untuk mendinginkan otaknya lebih dulu sebelum pulang ke kamar kosnya.
"Elah Dan, emang lo doang yang hobi ngeribetin gue! Gimana bisa sih barang... Loh Nadine belum pulang?" tanya Deva setelah terkejut mendapati salah satu temannya masih berada di ruang kelas.
Sementara itu, Nadine terpaku pada sosok dibelakang Deva yang memandangnya sekilas lalu beralih menuju meja lain di baris kedua. Sial. Ardan itu kenapa selalu tampan sih? Nadine jadi tekanan batin.
"Hehe iya nih, ini baru mau cabut. Kalo lo berdua ngapain balik?" tanyanya sambil menyimpan kacamatanya ke dalam tas.
"Ini si Ardan kacamatanya ketinggalan, emang ribet padahal bisa diambil besok."
"OIYAA lo udah cek kelompok buat tugas presentasi Aplikom belum? Kebetulan banget kita bertiga sekelompok, mau ngerjain kapan?" Deva mendudukkan dirinya di salah satu kursi.
"Kita?" Nadine membeo. Baru saja. Baru 15 menit yang lalu dia memikirkan tentang kesempatan. Dan kini kesempatan itu sudah tiba dihadapannya.
"Iyaa anjir! Gue, lo sama Ardan juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
TemanZone
Fanfiction'Beberapa kisah pertemanan bisa berubah jadi cerita romantis, tapi apa kita.. juga bisa?'