Keluarga Cerama

53 7 16
                                    

Gue nggak habis pikir, kenapa gue bisa kesiangan. Sial! Ini pasti gara-gara Khair yang ngajak begadang semalaman. Itu pun hanya untuk menulis novel yang berjudul Keluarga Cerama. Apaan tuh, judul seperti itu gue rasa nggak bakal laku di pasaran.

Ah, bodo amat. Yang penting sekarang gue mandi terus ke terminal bus. Jam juga kenapa berjalan begitu cepat? Astaga! Gue asal mandi deh.

Sial! Handuk gue ke mana lagi?

Oke. Gue mandi tanpa handuk.

Gue mandi sepuluh menit selesai. Bodo amat deh, gue pakai parfum aja.

Kalau gue nggak keren, jangan panggil gue Adib. Ya, gue Adib, cowok yang paling keren sekecamatan Bar-Bar. Rencana gue mau ke daerah Daun Muda untuk riset novel yang ditulis oleh Khair. Kalau ada yang tanya siapa Khair itu? Dia adalah pacar gue yang sangat kalem, cantik, dan manis. Walaupun gue nggak suka novel, tapi gue bantu Khair karena gue cinta dia. Gue ingin dia bisa menjadi penulis top Indonesia.

Kalau ada yang tanya gue naik apa ke terminal, gue naik ojek daringlah. Ya, sekarang sudah serba mudah, tapi nyatanya kita masih banyak mengeluh. Dasar manusia!

Lima belas menit kemudian gue sudah sampai di Terminal Bayangan Asmara di Kecamatan Bar-bar. Gue berharap perjalanan ke Daun Muda ini menyenangkan tanpa ada hal yang membuatku rindu kepada Khair karena lama.

Alhamdulillah, bus menuju Daun Muda sudah datang, gue naik bus itu dan duduk di bangku depan, dekat dengan sopir.

Pemandangan yang luar biasa indah bisa gue nikmati di sepanjang perjalanan menuju daerah Daun Muda. Kata orang, sih, di sana rawan dengan tindak kejahatan. Kalau ada yang tanya apa yang akan gue riset di daerah tersebut, gue mau riset sejarah tentang keluarga kanibal yang suka memakan daging manusia. Keluarga itu dikenal dengan Keluarga Cerama. Gue juga belum tahu alasan apa yang mendasarinya. Oleh karena itu, gue juga penasaran dengan keluarga ini.

Tidak terasa gue sudah sampai di daerah Daun Muda.

Gue turun dari bus dan berjalan ke warung makan. Gue tadi belum sarapan, anjir.

Gue langsung pesan makan. Sambil menunggu makanan datang, gue chat Khair untuk memberi tahu bahwa gue sudah sampai di daerah Daun Muda. Khair pun membalas dengan doa keselamatan buat gue.

Awalnya gue nggak peduli dengan doa yang dikirim Khair melalui WhatsApp itu. Namun, lama-lama gue kepikiran dengan hal itu. Gue merasa dia sangat khawatir kepada gue.

Berselang beberapa saat kemudian, pelayan yang cantik jelita datang membawa makanan yang tadi gue pesan.

"Mbak, boleh tanya sesuatu?"

"Apa, Mas?" jawab pelayan warung itu sambil menatapku.

"Mbak tahu Keluarga Cerama di sekitar sini?"

Pelayan itu tampak terkejut, lalu bertanya, "Mas ini siapa? Ada perlu apa dengan Keluarga Cerama?"

Pelayan itu kemudian duduk di hadapan gue. Wajahnya aduhai, cantiknya.

"Kenalin, gue Adib." Gue ulurkan tangan tetapi dia tidak merespons. Ya sudah, gue tarik lagi tangan gue.

"Mas Adib asli mana?" Bukannya memberi tahu namanya, dia justru bertanya asal gue dari mana.

Sebenarnya gue nggak suka dengan caranya. Tapi, mau gimana lagi. Gue jawab dengan singkat, "Bar-Bar."

"Gue Siti."

Begitu gue mengetahui bahwa namanya Siti, gue mikir nama Siti pasaran banget. Bahkan, cewek secantik ini namanya Siti. Tuhan, sekali-kali coba pertemukan gue dengan cewek yang bernama Veronica.

Antologi Keenam  (thriller) Kloter PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang