Oleh : Nanae Zha
"Dasar anak pembawa sial!"
Aku sudah biasa mendengar celaan itu dari Ratmi, kakak tertuaku. Air mata telah mengering, namun bukan berarti sakit hati tidak dirasakan lagi. Masih saja ada perih setiap mendengar ucapannya, rasanya tidak pernah sekalipun ia menghargai, apalagi menyayangiku sebagai adik. Ratusan pertanyaan yang sama menggelayuti benak, mengapa Ratmi harus membenciku? Apa salahku?
Baginya kelahiranku membawa petaka. Hari nahas terjadi, kecelakaan beruntun itu menewaskan orang tua kami. Sebelum detak terakhir jantungnya, ibu sempat di bawa ke rumah sakit dan menjalani operasi sesar di saat kritis. Hari lahir, menjadi hari di mana aku tidak ingin mengingat apalagi merayakannya. Jelas sudah alasan kebenciannya! Akhirnya, aku pun membenci alasan kelahiranku yang harus merenggut nyawa kedua orang tua sekaligus. Demi Tuhan! Bukan mauku dilahirkan dalam keadaan seperti itu. Jika saja boleh memilih, biar aku saja yang mati, tapi jangan kedua orang tuaku hingga terpatri di hati, mungkin benar akulah gadis pembawa sial.
Siapa namaku?! Anehnya celetukkan Ratmi disambut antusias oleh keluarga. Terinspirasi saat Bapak dan Ibu disemayamkan, jejeran tanaman di sepanjang pemakaman menarik perhatiannya. Ratmi dengan segala kebenciannya, ingin sekali memasukkanku ke liang lahat, menggantikan posisi orang tua. Hanya saja saat itu aku belum mengerti bahkan mengingat tatapan bencinya pun tidak ingat. Satu-satunya yang membuatku bersyukur, kehilangan ingatan selagi balita. Setidaknya di usia itu mungkin pernah merasakan bahagia. Mungkin.
Sialnya harapan Ratmi tidak pernah terwujud, nasib baik berpihak, kini usiaku 18 tahun. Lagi-lagi hal baik pun kuanggap sial! Di daerahku, tanaman ini selalu dianggap keramat dan menakutkan, aura mistis terpancar karena ditanam di sekitar kuburan. Sejak itu, namaku resmi-nama yang membawa sial-Kamboja!
Sugesti itu semakin kuat ketika orang-orang di sekitar mengalami kesialan karena kehadiranku. Teman-teman enggan bermain, tentu saja hasutan dari Ratmi memang ampuh mencuci otak mereka. Meskipun tidak diajak, aku selalu memberanikan diri untuk ikut bermain di belakang rumah. Saat itulah, seorang anak berlari ke arahku, kami bertabrakan, ia tersungkur, kepalanya membentur batu hingga darah bercucuran dari dahinya.
"Maaf, aku tidak sengaja."
Kata maafku seolah angin lalu, tidak ada yang mendengar, kutukan itu telah melekat kuat, mendarah daging dalam tubuh. Kaget dan takut menyelubungi hati, semua mata memandang, terdengar bisikan, "Pembawa sial! pembawa sial!"
Aku berlari sejauh mungkin dari sana, menghindari tatapan-tatapan benci yang tidak kumengerti. "Sungguh aku tidak sengaja!" Aku menangis, meraung-raung, tidak ada yang tahu telah banyak air mata kuhabiskan di tempat ini, makam ibu dan bapak ....
Teringat dulu, saat usia tujuh tahun, tidak biasanya Ratmi mengajak ziarah ke makam ibu dan bapak. Bahagia untuk pertama kalinya, semua rasa syukur kupanjatkan, kini Ratmi sudah bisa menerima. Namun, kenyataan pahit menghampiri, kebahagiaan itu sesaat, setibanya di sana aku ditinggalkan hingga malam menjelang. Gelap telah menyurutkan langkah, akhirnya hanya bisa menangis di samping makam.
"Mengapa Kakak begitu membenciku, Bu. Bisakah kalian hidup lagi? Katakan padanya aku bukan anak pembawa sial! Kumohon ... kumohon!" Percuma menjerit dan berteriak, tidak ada yang menjawab. Semua begitu berat, menyesakkan. "Apa Ibu dan Bapak juga sepakat dengannya, aku memang pembawa sial yang telah menjadi penyebab kematian kalian?! Apa kalian juga membenciku?" Isak tangis meruah hingga lelah, tidak sadar aku pun terlelap.
Di kiri kanan, bunga kamboja bermekaran. Sayup-sayup kudengar suara wanita begitu lembut, "Boja ... tidak ada satu pun makhluk di dunia ini diciptakan tanpa alasan, tanpa kegunaan, tidak pernah ada yang sia-sia. Lihat! Kamboja itu cantik, meskipun tempatnya di kuburan, tapi tetap setia menemani jiwa-jiwa sepi. Apalagi kamu ... tersenyumlah, tetap indah seperti kamboja di manapun ia berada."
Suara aneh itu menghilang, malam itu juga nenek dan warga menemukanku. Dari kejauhan Ratmi menyeringai, mungkin menyesal mengapa aku ditemukan. Sorot matanya mengharapkan aku lenyap, dibawa setan penunggu kuburan, atau tertelan bumi.
***
"Apa salahnya kamboja? Bagiku kamu terlalu berharga untuk dinilai sebagai pembawa sial," kata Riki melalui inbox FB.
Dunia maya memperkenalkanku dengannya. Ia pemuda yang baik, terbukti niat baiknya langsung mengajak menikah. Tanpa pikir panjang, aku bersedia karena dia bisa membawa pergi dari tempat yang telah mengutukku sejak lahir. Hanya nenek yang melepas dengan linangan air mata saat Riki memboyongku ke rumahnya.
Sebuah keluarga kecil telah menjadikanku menantu. Agama orang tuanya Hindu, memang berbeda keyakinan. Berada di lingkungan seperti itu membuatku bingung sedangkan Riki tidak bisa memungkiri demi menghormati keluarga terkadang ritual-ritual tertentu masih diikuti. Itu memang kenyataan yang harus dihadapi, memang orang luar sulit menerima begitu pun diriku. Yang membuatku kaget, bagi mereka kamboja dianggap suci, lambang pengabdian, tidak jarang bunga-bunga ini menjadi begitu keramat di upacara-upacara keagamaan mereka.
Baru kusadari di manapun bunga kamboja berada, mau ia sebagai penghias kuburan atau di kuil sebagai simbol persembahan, intinya di hadapan Tuhan tetap sama. Begitu pun aku, di manapun berada kehadiranku akan tetap bermanfaat. Mungkin dulu dilahirkan untuk pelampiasan ego Ratmi, pemenuhan kebencian yang tak bisa ia ungkapkan pada orang lain. Benar! Tugas belum selesai, kelahiranku untuk membahagiakan orang-orang di sekitar, meski dengan cara unik seperti Ratmi. Semoga ia benar-benar bahagia telah memperlakukanku seperti itu.
***
-END-
Cianjur, catatan lama dari pemula
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen Nanae Zha
General FictionBandung merajut semua hikayat cinta kami. Perjalanan panjang yang melelahkan. Bertahan dalam ketidakpastian dan entah sampai kapan. Meski seumur hidup harus menjadi pengagum rahasia yang melihatnya dari kejauhan. Namun, di kota ini akan menjadi awal...