Seperti angin lalu yang kembali dari putaran waktu, kisah pilu memang selalu berputar dari masa ke masa. Lalu, haruskah aku menjalani kisah pilu dari sekian banyak kisah bahagia?
🎆🎆
♦️♦️♦️Dalam isak tangisku yang belum reda, otak dan jiwaku berkolaborasi membentuk sebuah wacana yang harus diungkapkan segera.
Memindai jati diriku sebagai seorang wanita biasa yang punya hati, kemudian menegaskan bahwa aku adalah istri yang baik, dan aku adalah seorang ibu yang harus kuat menghadapi badai cobaan.
Aku yakin, Mas Dimas tidak akan berhenti disitu saja. Aku yakin inti dari percakapan tadi belumlah mencuat ke permukaan. Itu hanya pemberhentian sementara agar aku siap menghadapi kenyataan yang lebih pahit dari itu."Ma!" Putra bungsuku mencariku. Kesedihan yang tadi meronta tergagap mendengar lengkingan itu. Suamiku yang sejak tadi menungguiku menangis segera bangkit untuk menemui Farel.
Terdengar ia merayu Farel untuk tidak mencariku.
"Farel, belilah es krim dengan Kak Dinda. Jangan ganggu Mama dulu, ya?" sayup terdengar suara indah itu menenangkan putranya.
Tak lama kemudian pintu kamar terbuka dan suamiku masuk menemuiku."Sampai dimana hubungan kalian sekarang?" ucapku datar saat dia duduk di hadapanku disebuah kursi.
"Itulah sebabnya aku ingin berbicara denganmu, aku tidak mau kamu terkejut."
Terkejut? Haruskah? Atau shock? Atau kaget dengan sekaget-kagetnya? Bagaimana aku mendefinisikan diriku?
"Kamu, kamu membuatku merasa sangat terluka dan ingin marah, Mas. Dan aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa kamu melakukan sesuatu yang sangat memalukan ini!" Intonasiku lebih menekan pada kata memalukan, aku harap dia sadar bahwa itu sebenarnya yang membuat aku dipermalukan. Hatiku sedikit lega karena bisa mengumpat dengan sopan.
"Tapi kami sudah sepakat, Dek," jawabnya lagi."Kami sepakat untuk berterus terang tentang hubungan kami kepadamu."Kami katanya? tahukah dia apa yang dia katakan seperti menjadikanku seorang lelucon bagi mereka. Selama berapa lama mereka diam-diam dibelakangku? Apa yang mereka lakukan selama ini? Dan sekarang harus berterus terang karena apa?
"Apakah kalian berzina, Mas?"
"Tidak Dek! Percayalah, kami tidak seperti itu!"
Jadi seperti apa? Seperti apa yang kalian lakukan di belakangku? Tak terasa pembicaraan semakin jauh dan menjurus. Apapun alasannya seharusnya tetap salah bukan?
"Jadi apa maumu, Mas?" Pada akhirnya kalimat ini keluar dari mulutku.
"Kami memutuskan untuk menikah, Dek," ujarnya perlahan. Kulihat ia tak berani menatapku.
"Tidak! Aku tak bisa menyetujui kemauanmu. Maaf!"
Aku berlalu dari hadapannya. Ia harus tahu bahwa aku menentang keinginannya. Bagaimana mungkin ia punya keinginan seperti itu setelah sebelas tahun pernikahan?
Saat itu, yang aku pikirkan hanya tak ingin melihat wajahnya. Dengan segera aku mengambil kontak mobil milikku dan memanggil kedua anakku. Aku sungguh menahan sekuat tenaga untuk tidak melelehkan air mata.
Kamu mungkin tidak hanya mengenang kenangan indah karena terkadang kenangan indah terlaku mudah dilupakan. Akan tetapi kenangan pahit selalu melekat.
Bagiku, sangat menyakitkan apa yang ia katakan. Akan tetapi yang lebih membuat aku terluka adalah karena mereka telah berhubungan sangat lama tanpa aku ketahui. Aku tak percaya kalau mereka tidak melakukan apapun.
"Kita mau kemana, Ma?" tanya Dinda saat di dalam mobil. Saat itulah apa yang kubendung meluap dan merembes di pipi.
"Kita kerumah Bik Mun, Dinda," kataku.
Dinda tampak gugup saat melihat air mataku mengalir. Sejak awal ia sudah merasa heran dengan sikap dinginku saat mengajaknya pergi.
Dinda termenung, sedangkan Farel masih disibukkan permainan game di tangannya.Bik Mun adalah kakak kandung dari Mas Dimas. Aku yakin dia pasti mengetahui sesuatu karena dia selalu datang ke minimarket yang Mas Dimas kelola untuk bekerja.
Kedua anakku langsung berlari mendahuluiku masuk ke rumah Bibiknya. Aku juga melihat Bik Mun sudah menyambut mereka dengan wajah sumringah. Sepertinya Bik Mun mendengar suara mendengar suara mobil kami masuk ke pekarangan lalu segera keluar rumahnya.
"Njanur nggunung (tumben) Yan, kok sudah lama nggak ke rumah?"
"Aku sibuk Mbak, sekarang aku harus ngawasin toko juga. Mas Dimas sibuk di minimarket."
Aku melangkah pada rumahnya yang berdinding bata merah. Dulu rumah ini adalah rumah berdinding anyaman bambu. Karena Mbak Mun seorang janda, aku kasihan melihat rumahnya yang sudah reyot jadi aku menjual perhiasanku untuk membangun rumahnya. Rencana aku akan memelester dan memasang keramik tahun depan, aku sudah meniatkan agar Mbak Mun merasakan juga keberhasilan kami.Melihat kelakuan Mas Dimas aku merasa ragu kalau niatku tidak berubah.
"Sudah makan Yan?" Mbak Mun mengeluarkan kue kering yang ada di lemari penyimpanan. Kulihat anakku sudah dapat setoples dan mereka sedang asyik menyantap kue coklat itu.
"Sudah Mbak, aku sudah sarapan," tipis senyumku karena perasaanku sedang berat.
"Kamu ada perlu kayaknya, ada apa?" Mbak Mun mulai curiga.
"Penting Mbak, aku harus ngomong," kataku sambil duduk di ruang tamu.
Dengan mimik serius Mbak Mun duduk di hadapanku.
"Mbak, tolong Mbak Mun jujur sama aku. Mbak Mun sudah tau ya hubungan antara Mas Dimas dengan Indri?" tanyaku.Mbak Mun
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimadu suamiku
Romance!!!FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!! Aku menerima keputusan suamiku. Bukan karena aku tidak mencintainya. Justru karena aku ingin membuatnya bahagia maka aku meluluskan keinginannya untuk menikah lagi. Namun memang hati tak bisa ditebak. Karena idealisme t...