Jawaban apa yang harus kukatakan?

110 2 0
                                    

Mbak Mun seketika gugup, semburat merah terpendar di matanya. Kurasa ia memang tahu sesuatu.
Mbak Mun menelan ludah, merapatkan bibirnya dan menatapku tajam. Lalu menghela napas berat.

"Tadinya Mbak cuma curiga Yan, karena mereka tampak sangat akrab di toko. Mbak kira ya karena partner kerja aja, Mbak Mun nggak pernah menyangka kalau itu pacar lamanya," kata Mbak Mun menceritakan kronologis dari versi yang dia lihat.

"Sejak kapan Mbak Mun tahu?"

"Sudah dua bulan Yan," katanya kemudian.

Dua bulan? Dan bahkan dia tak memberitahuku padahal sudah jelas selama ini? Bolehkah aku mengira bahwa ini persekongkolan?

"Kenapa Mbak Mun nggak kasih tahu aku?" tanyaku. Dia tampak bingung untuk menjawab. Tentu saja, Mas Dimas adalah adiknya. Pasti dia bingung harus memihak kemana bukan?

"Harusnya aku lebih berhak tahu karena aku istrinya Mbak. Baiklah kalau begitu, apa yang bisa Mbak Mun sarankan buat aku?" ujarku sambil menitikkan air mata, hatiku serasa hancur berkeping-keping.

"Mbak Mun nggak bisa kasih pendapat Yan, Dimas sepertinya sudah lengket terus dengan Indri."

Lagi? Apa lagi yang lebih mengejutkan dari ini?

"Bukankah Indri sudah bersuami Mbak?" aku hanya menebak sebetulnya. Aku tak pernah tahu siapa saja yang bekerja di mini market itu, apalagi statusnya.

"Indri baru saja bercerai dengan suaminya sekitar empat bulan yang lalu, Yan," katanya menatapku iba. Tatapan itu lebih dari sekedar mengasihaniku, akan tetapi tatapan yang sekaligus menghancurkan relung batinku.

agaimana bisa dalam hubungan yang lebih dari setahun, kenyataannya baru empat bulan Indri bercerai dengan suaminya? Bagaimana aku harus menyimpulkan kondisi tidak beres kedua sejoli itu?Ya Tuhan, mengapa tiba-tiba bulu kudukku merinding karena mendengar semua ini? Suamiku benar-benar telah gelap mata karena menjalin hubungan dengan wanita bersuami!

Apakah kamu menyukai kejujuran yang menyakitimu ataukah kebohongan yang membuatmu terluka?
Selama itu memiliki akhir, mungkin itu lebih baik.

Semakin aku meneliti, semakin aku tahu ketidak tahuanku tentang siapa sebenarnya suamiku.

"Mbak Mun, tolong katakan saja apa yang harus aku lakukan sekarang?" ucapanku ini, bukan tak beralasan. Aku ingin tahu seberapa jauh keterlibatan Mbak iparku ini dalam perselingkuhan suamiku.
Bisa dikatakan aku sedang mencari siapa lawan dan siapa kawan.

"Aku nggak bisa kasih saran apa-apa Yan, meskipun aku kakaknya aku tidak punya suara. Mereka sudah seperti saling melengkapi di minimarket itu Yan, sementara aku di sana hanya buruh bersih-bersih."

Baiklah aku akan menerima alasan ini seadanya. Tetapi aku memberi catatan khusus tentang kejadian ini bahwa Mbak Mun tetap tidak bisa dipercaya.

Kembali kerumah aku menyempatkan untuk mandi dan membenahi diri. Aku melihat suamiku yang sedang duduk di kursi makan. Ia sedang menyusun makan malam di meja makan. Dinda segera duduk di sana dan diikuti Farel setelah aku membersihkan mereka.

"Dari mana Dinda?" Mas Dimas bertanya kepada putri sulungnya.
"Dari Bik Mun Paham, disana Dinda makan kue coklat buatan Bik Mun," kata Dinda dengan tawa renyahnya.
"Farel juga makan kue coklat?" tanya Mas Dimas pada Farel.
Farel hanya mengangguk, sifat Farel memang tidak seperti Dinda yang lebih cerewet.

"Kenapa kamu ke tempat Mbak Mun, Dek? Apa kamu ceritakan semua yang aku katakan?"

Aku melihat kedua anakku yang mulai menyendok makanan. Harus aku menjawabnya disaat mereka sedang memasukkan nutrisi pertumbuhannya ke dalam tubuh mungilnya?
Aku hanya melirik kesal kepada suamiku itu, memang aku sedang tidak bisa tersenyum.
Padahal aku sangat ingin menjawabnya,'kamu salah mas, justru  Mbak Mun yang bercerita tentangmu kepadaku,' batinku.
"Makan yang banyak Dinda, Farel. Biar jadi orang pinter dan kuat, jadi bisa bikin mini market kayak papah, jadi nggak perlu kerja sama dengan orang lain yang akhirnya malah ngerampok," ucapku pelan namun tajam kearahnya.
"Jangan keterlaluan Dek, ingat kalau kamu sekarang di depan anak-anak," nah, siapa tadi yang mulai?

Tadinya aku ingin mengisi perutku barang sedikit, tapi aku yang sedang rapuh merasa kata-kata suamiku barusan mengandung rasa marah kepadaku rasanya selera makanku hilang mendadak. Aku tak akan menjawabnya, karena aku pasti menangis nantinya.
Kami makan dalam diam, hanya denting sendok dan piring yang menghiasi meja makan. Sesekali anak-anak melirik ke arahku dan sesekali ke arah papahnya.

Pernahkah kamu marah disaat kamu sedang tenang? Ataukah kamu marah disaat gelisah melandamu?

Ya, aku memang sedang risau dan gelisah, dan aku juga ingin marah! Hatiku tak tenang dan merasa terhina oleh suamiku sendiri.
Kedua anakku sudah terlelap, aku berharap mereka sedang bermimpi indah. Tidak seperti mamanya yang sedang menghadapi mimpi buruk!

"Kumohon Dek, janganlah seperti ini," katanya menatapku.
"Berikan waktu kepadaku untuk berpikir, Mas," ucapku pelan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 28, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dimadu suamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang